Searching :

Custom Search

Monday, July 27, 2009

Enchanter Aroma in the Mist

A 2,5 storey swiftlet house measuring 4 m x 12 m has just been built 1 month ago, but the boisterous sound of swiftlet could have been heard clearly as if it is a 1 year old house. According to Ir Lazuardi Normansah, the proprietor, the house has been inhibited by 200 swiftlets so far. Normally, there are only 20 swiftlets or swifts inhibiting a 1 month house.

Apparently, Lazuardi utilizes swiftlet enchanter aroma sprayed through fogging machine. The machine is placed between roofing room and nesting room, and is operated twice in a day for 3 - 5 minutes. As an effect, the enchanter aroma attaches on swiftlets feathers. The next day when the swiftlets hunt for food, the aroma will attract 'wild' swiftlets to come to the new house. That is the reason why the swiftlet population grows rapidly.

In case there is no fogging machine, it is possible to dab the enchanter aroma composed by Lazuardi over the nesting boards and entrance-exit door. The effectiveness is proven to be quite high. It has been applied in Jayadi's, a breeder in Jakarta, vacant swiftlet house and within 4 months there have been 80 swiftlet nests. The number is increase to 255 nests after 8 months. (Tri Susanti)
---------------------------------------------------------------------------
Aroma Pemikat dalam Kabut
RUMAH WALET BERUKURAN 4 M X 12 M SETINGGI 2,5 LANTAI DI CIAMPEA, BOGOR, JAWA BARAT, ITU BARU BERUMUR 1 BULAN. NAMUN, KETIKA RUMAH BARU ITU DIBUKA, KOTORAN WALET BERTEBARAN MENYELIMUTI LANTAI. PUN CERICIT WALET TERDENGAR RAMAI BAK RUMAH UMUR 1 TAHUN.

Menurut Ir Lazuardi Normansah, sang pemilik, rumah itu telah dihuni sekitar 200 walet. Normalnya, rumah baru paling banter dihuni 20 walet atau bahkan hanya seriti. Hal serupa dialami Doni - nama samaran - peternak walet di Serpong, Tangerang. Tiap sore walet yang pulang dan menginap di rumahnya bertambah banyak. 'Walet-walet itu seperti membawa serta 'teman-teman' baru,' ujarnya.

Rupanya kedua peternak itu menggunakan aroma pemikat walet untuk memancing kedatangan Collocalia fuciphaga. Namun, penggunaannya lain dari biasa. Aroma itu dicampur dengan air dalam wadah tampungan mesin kabut melalui selang. Perbandingannya 2 atau 3 bagian air dan 1 bagian aroma pemikat. Lantas mesin yang biasa digunakan pekebun tanaman hias itu diletakkan di antara roofing room dan nesting room dan dioperasikan selama 3 - 5 menit.

Tiap jam 5 pagi saat walet berangkat mencari pakan dan tiap sore saat rombongan besar walet pulang, mesin kabut itu dioperasikan. Ketika walet-walet itu beterbangan melewati nesting room dan roofing room, kabut aroma pemikat menempel di bulu-bulu mereka. Esok harinya saat mencari pakan dan kembali pulang, anggota rombongan bertambah besar. Walet liar terpikat ikut rombongan pulang. 'Diduga aroma yang menempel di tubuh walet menarik walet lain (bukan penghuni, red) ikut masuk,' kata Lazuardi. Itulah yang menyebabkan populasi waletnya berkembang sangat pesat.

Walet muda
Aroma pemikat walet memang jamak digunakan peternak untuk memancing kedatangan walet di rumah-rumah walet baru. Cara dan bahan yang digunakan beragam, mulai dari yang sederhana sampai kompleks. Ada yang melaburkan telur itik ke dinding ruangan, mengoleskan air cucian sarang pada lagur, dan merendam sarang tiruan dalam ramuan pemikat komersial. Itu karena walet memang tertarik beberapa aroma tertentu. 'Aroma ikan, udang kering, dan tembakau adalah beberapa contoh yang disukai walet,' ujar Lazuardi. Sebaliknya, aroma durian dan cumi-cumi tidak disukai.

Menurut Harry KNugroho, praktikus walet di Kelapagading, Jakarta Utara, aroma pemikat walet selama ini hanya digunakan di dalam rumah walet. 'Fungsinya untuk menghilangkan bau semen sehingga burung merasa nyaman dan seolah-olah rumah walet sudah lama dihuni,' ujar Harry. Belum pernah terpikirkan aroma pemikat digunakan untuk memikat walet saat berada di udara bebas.

Hal itu juga diakui Lazuardi. 'Aroma pemikat walet memang tidak bisa berfungsi untuk memikat walet dari jarak jauh layaknya tweeter (pengeras suara, red),' ujarnya. Jika dioleskan ke lubang keluar-masuk, paling banter bisa tercium walet dari jarak 10 - 11 meter. Nah, jika aroma itu melekat di bulu-bulu walet, otomatis bisa terbawa ke jarak yang lebih jauh bersamaan walet pergi mencari pakan. Aroma pemikat disemprotkan 2 kali sehari untuk mengantisipasi jika lebih cepat menguap di udara bebas.

Kendati begitu, berdasarkan pengalaman pemilik jasa konsultasi Multi Walet itu, aroma pemikat tidak menarik perhatian walet yang sudah pernah bersarang atau bertelur di tempat lain. Sebab, burung-burung itu sudah mempunyai ikatan dengan telur atau anak-anaknya di rumah lama.
Kecuali jika di tempatnya bersarang ada gangguan yang menyebabkan walet harus mengungsi. Misalnya, sarang dipanen tidak beraturan atau terjadi kebakaran. 'Aroma pemikat hanya efektif untuk memancing walet-walet remaja yang belum mempunyai pasangan atau baru belajar terbang,' ungkap Lazuardi.

Baru
Kemampuan aroma walet memikat sasaran tergantung bahan yang digunakan. Lazuardi menggunakan ramuan baru yang telah diujinya selama 4 tahun. Bahan utamanya air hujan, liur walet, dan sejenis rumput-rumputan diramu dengan 4 bahan alami lain. 'Efeknya paling bagus jika ramuan sudah mengeluarkan gas,' ujarnya. Cirinya, jerigen tempat ramuan itu tampak menggembung, dan cairan berubah warna dari biru menjadi keabu-abuan.

Untuk aplikasi langsung dimasukkan ke mesin kabut, dan dioleskan pada lagur serta lubang keluar-masuk. Aroma pemikat itu baunya akan semakin kuat dan tahan lama jika dioleskan ke lagur yang porous seperti kayu sengon. Aroma itu bisa tahan 2 - 3 bulan di dalam ruangan dan sekitar 2 minggu di lubang keluar-masuk.

Pengolesan di lagur dan lubang keluar-masuk walet efektivitasnya tinggi. Dampak itu dirasakan Jayadi. Awalnya peternak di Jakarta itu hampir putus asa lantaran rumah walet yang baru dibeli ternyata sudah kosong selama 2 tahun. Iseng-iseng ia mengoleskan 2 jerigen ramuan pemikat walet ke sirip dan lubang keluar masuk. Rumah walet lantas digembok dan ditinggalkan begitu saja selama 4 bulan.

Ketika ditengok kembali, hasilnya membuat Jayadi kaget. Di dalam rumah 3 lantai seluas 200 m2 itu ia menjumpai 80 sarang walet. Kini setelah 8 bulan, sudah ada 255 sarang walet di rumah itu. Umumnya, burung walet baru bersarang di rumah baru setelah 5 - 8 bulan. Bahkan di rumah walet Jayadi terdahulu, setelah 2 tahun baru terdapat 50 sarang.

Meski begitu, para peternak sepakat: tidak boleh hanya mengandalkan aroma pemikat. Kondisi mikro rumah tetap harus diutamakan. Meski diolesi ramuan pemikat, jika rumah kotor dan kondisi lingkungan tidak sesuai, walet tidak akan merasa nyaman. Untuk itu Lazuardi menyarankan kelembapan rumah harus tetap dijaga di kisaran 80 - 90% dan suhu 28 - 30oC. Jika sudah begitu, impian peternak untuk mendengar cericit walet di rumah baru, bukan sekadar impian. (Tri Susanti)

Monday, June 1, 2009

Cericit Walet Hadir di Parepare,There Switlets Come to Parepare

There Switlets Come to Parepare
September 9th, 2007 will be a date that will always be in the mind of Jerry Angkawijaya, a swiftlet breeder in Parepare, South Sulawesi. That was the date when swiftlets, the golden saliva, came into his one-storey swiftlet house which measures of 20 m x 50 m for the very first time after being vacant for 5 years. Now, the swiftlet population has reached 5.200 and 1.300 nests.
Initially, the house made from concrete for the walls which was built in 2000 was merely a porcelain warehouse where every morning and afternoon, hundreds of Collocalia fuciphaga flew around over the zinc roofing. Noticing at the fact, 2 years later Jerry altered the warehouse into swiftlet house, but still the swiftlets would not came in. It was soon after Jerry changed the design of the house and played swiftlet CD on for 24 hours that the swiftlets commenced to come.
Jerry was among the luckiest having his house inhibited by swiftlets. According to Hary K. Nugroho, a swiftlet expert in Kelapagading, North Jakarta, Sulawesi Island is dominated by swifts, whereas the population of swiftlet is very few. Usually, to invite switlets it requires egg rolling (replacing swift eggs with swiftlet eggs) just as done by swiftlet entrepreneurs in Makassar. Based on the observation of Mulyadi, a swiftlet practitioner in Serpong, Tangerang, the rapid development of swiftlet in Parepare may be on account of overflowing swiftlets migrated from Balikpapan and Samarinda. (Lastioro Anmi Tambunan)
------------------------------------------------------------------------------
'TANGGAL 9, BULAN 9, TAHUN 2007,' UJAR JERRY ANGKAWIJAYA, PETERNAK WALET DI PAREPARE, SULAWESI SELATAN. ANGKA ITU TEREKAM BAIK DI BENAK JERRY. MAKLUM, ITULAH SAATPERTAMA KALI SI LIUR EMAS MASUK KE BANGUNAN WALET 20 M X 50 M BERLANTAI 1 MILIKNYA YANG 5 TAHUN KOSONG. POPULASI WALET KINI MENCAPAI 5.200 EKOR DENGAN 1.300 SARANG.

Awalnya bangunan rumah bertembok beton yang berdiri pada 2000 adalah gudang keramik. Maklum, Jerry adalah pengusaha keramik dan penyedia bahan bangunan. Di sana setiap pagi dan sore ratusan Collocalia fuciphaga berseliweran di atas atap bangunan yang terbuat dari seng. Melihat kenyataan itu, 2 tahun kemudian Jerry mengubah gudang menjadi rumah walet. Apadaya, 'Walet hanya terbang di atas atap, tetapi tidak masuk,' ujar pemilik UDArtha Prima itu.

Padahal ruangan sudah dirombak demi kenyamanan walet. Jerry menambahkan lagur, menyekat ruangan menjadi 17 kamar berukuran 4 m x 8 m, dan membuat 60 lubang ventilasi berdiamater 10 cm. Pintu gudang diubah menjadi pintu masuk walet dengan menambahkan bata sehingga ukurannya menjadi 50 cm x 60 cm.

Atur kelembapan
Baru setelah berkonsultasi dengan pakar walet di Serpong, Tangerang, Banten, biang kerok sulitnya walet masuk rumah terungkap. Rumah walet milik Jerry kurang sesuai dengan habitat walet. Perlengkapan pendukung kenyamanan rumah walet seperti bak berisi air atau mesin pengabut peningkat kelembapan tak terpikirkan oleh Jerry.

Suhu dan kelembapan dalam rumah sekitar 29 - 30oCdan 75 - 80% sebetulnya bisa ditolerir walet. Namun, pada malam hari suhu menjadi sangat dingin dan lembap. Belum lagi siang hari, sinar matahari yang masuk terlalu terang sehingga mengganggu kenyamanan walet.
Nah, untuk mencegah perubahan drastis itu Jerry mengubah lingkungan mikro dengan menambahkan 5 mesin pengabut yang dihidupkan setiap pukul 11.00 - 15.00 WITA. Agar panas sinar matahari siang tidak leluasa masuk, di bawah atap seng dicor beton setebal 1 bata atau 5 cm. Lainnya, ia menanam pohon sukun dengan jarak 300 m mengitari bangunan itu. Selain itu, di salah satu pojok ruangan dibuat kolam air yang ditutup kawat kasa. 'Supaya kelembapan terjaga. Sementara kasa menghindari perkembangbiakan nyamuk,' kata pria 50 tahun itu.

Perubahan itu awalnya belum cukup mengundang walet masuk. Sebab itu pula Jerry memasang CD pemanggil walet yang dihidupkan selama 24 jam. 'Walet akan mengikuti sumber suara untuk masuk,' katanya. Sebelum masuk walet biasanya terbang mengitari rumah karena itu Jerry membuat roofing area (tempat bermain, red) seluas 300 m2 yang mengelilingi bangunan. Hanya dalam hitungan bulan, pada pertengahan 2007 puluhan walet masuk dan mulai bersarang.

Migrasi
Jerry termasuk beruntung karena rumahnya langsung dimasuki walet, meski perlu menanti selama 5 tahun. Menurut Hary K. Nugroho, pakar walet di Kelapagading, Jakarta Utara, Pulau Sulawesi didominasi sriti, populasi walet sangat sedikit. 'Untuk menghadirkan walet biasanya perlu dilakukan putar telur,' ujar Hary yang setiap tahun menyuplai 100.000 telur walet ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Dari Makassar itulah biasanya telur walet menyebar ke Parepare dan sekitarnya. Di Parepare sendiri sampai 1996 belum ada populasi walet. Bangunan-bangunan rumah walet mulai berkembang pada 2000, diawali dengan beberapa rumah di pusat kota. Berdasarkan pengamatan Mulyadi, praktikus walet di Serpong, Tangerang, penambahan populasi walet di Parepare demikian cepat karena limpahan walet migrasi dari daerah Balikpapan dan Samarinda, Kalimantan Timur.

Terbukti sebuah bioskop tua di tengah kota yang kebetulan dimasuki walet sudah menghasilkan 10 - 12 kg sarang sekali panen. Tentu saja setelah bioskop dirombak total menjadi rumah walet bertembok beton dengan 3 lantai. Jarak bekas bioskop tua itu hanya 4 km dari rumah walet milik Jerry. Itulah yang membuat berkah bagi Jerry. 'Walet-walet di sana pasti ada yang tertarik ke sini,' ucapnya.

Perkembangan walet di Parepare memang belum semaju sentra-sentra lain. Itu lantaran belum banyak investor yang masuk ke sana. 'Agak malas kalau harus putar telur (mengganti telur sriti dengan telur walet, red), karena butuh waktu lama,' tutur Hary yang sering berburu lokasi-lokasi potensial untuk walet.

Padahal, menurut Hary Parepare yang memiliki luas wilayah 99,33 km2 itu cocok untuk pengembangan walet. Bayangkan dari utara sampai selatan kota dikelilingi hutan yang menyediakan serangga sebagai sumber pakan. Pun letak Parepare yang dekat pantai dan banyak dikelilingi sungai. 'Walet tidak akan kekurangan pakan,' timpal Jerry. (Lastioro Anmi Tambunan)


By:Trubuson

Friday, May 8, 2009

Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Walet

Penulis : Redaksi AgroMedia
Ukuran : 17.5 x 24 cm
Tebal : vi + 168 hlm.
Penerbit : AgroMedia Pustaka
ISBN : 979-006-232-x
Harga : Rp 45.000,-

Bisnis sarang walet merupakan bisnis yang memerlukan modal tidak sedikit. Namun, jika usaha ini berjalan lancar, keuntungan besar bakal menanti Anda. Sebagai gambaran, jika harga satu kilogram sarang walet enam juta rupiah, sedangkan biaya operasionalnya hingga panen hanya 1--2 juta rupiah, berarti Anda sudah mendapatkan untung 4--5 juta rupiah. Itu baru satu kilogram. Jika pembudidayaan dilakukan dengan tepat, kemungkinan besar hasil panen yang diperoleh mencapai 25--30 kilogram. Artinya, berapa angka rupiah yang siap Anda kantongi?

Sayangnya, untuk mendapatkan angka tersebut bukan perkara mudah. Fakta di lapangan menunjukkan, tidak sedikit pengusaha sarang walet yang "gulung tikar" akibat gedung walet yang dimilikinya kosong. Kesalahan teknis konstruksi gedung, pemilihan lokasi yang tidak tepat, kegagalan memancing walet dengan suara tiruan, dan keliru menciptakan habitat mikro di dalam gedung walet merupakan pemicu gagalnya usaha ini.Buku ini sengaja dihadirkan untuk menjawab semua hal tersebut. Informasi yang diperoleh berasal dari sejumlah pakar dan pembudidaya walet. Dengan harapan, buku ini bisa dijadikan pedoman para pengusaha walet dan Anda yang ingin memulai usaha ini. Selamat berinvestasi!

Thursday, May 7, 2009

Bisnis Air Liur Walet di Serpong

BURUNG berwarna hitam sebesar burung gelatik itu masuk dan keluar gedung-gedung tinggi, melalui lubang-lubang pipa pralon berdiameter sekitar 15 sentimeter. Mereka keluar untuk mencari makan berupa serangga terbang yang dimakan sambil terbang pula.

Itulah pemandangan kawasan RT 04 RW 05 Desa Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang. Lokasi kompleks gedung tinggi tanpa jendela tersebut di kawasan "Perancis" (Perempatan Cisauk), Jalan Raya Serpong, atau sekitar 15 kilometer ke arah selatan gerbang tol Tangerang. Kompleks gedung di sebelah barat dan utara berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane. Dari kejauhan, kompleks gedung tinggi di kawasan "Perancis" tidak ubahnya seperti kompleks rumah susun. Bedanya itulah rumah walet (Collocalia vestita).

"Dulunya RT 04 RW 05 ini permukiman penduduk. Rumah-rumah warga di sini dibeli orang berduit, sedangkan penghuni lama pindah ke tempat lain. Harga tanah di sini mahal seperti di Jakarta," ujar Dahri (25), salah seorang pedagang rokok di kawasan itu.
Rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya segera dirobohkan oleh pemiliknya yang baru. Di bekas-bekas rumah itu pun dibangun gedung-gedung bertingkat sampai sekarang.

"Sebenarnya, belum lama kawasan ini berubah menjadi kompleks sarang burung walet. Gedung-gedung bertingkat ini banyak dibangun mulai sekitar lima tahun lalu. Gedung sarang burung walet yang lama tidak setinggi sekarang ini. Jumlahnya pun sedikit," kata Vovo (36), seorang spesialis pembuatan pintu besi gedung sarang burung walet, yang tengah mengerjakan pesanan dari salah seorang pemilik gedung.

Kini, ada sekitar 30 gedung pencakar langit di kawasan "Perancis", sebagian besar dibangun setelah nilai rupiah merosot sejak tiga tahun lalu. Banyak orang berduit yakin gedung-gedung tersebut disukai unggas itu. Harga satu kilogram sarang burung walet sebesar Rp 17 juta. Sarang itu terbuat dari air liurnya. Mahal, karena dianggap berkhasiat sebagai obat.

Konon, kawasan itu sudah dihuni walet sejak seabad lalu. Saat itu, walet menghuni rumah seorang pembesar Belanda. Ketika dia meninggal, rumahnya tidak terurus sampai kemudian ambruk. Burung walet pun berpencar dan pindah ke gedung dan kawasan lain.

Tidak semua gedung segera dihuni walet. Pik Yan (60), warga Desa Sampora, kini memiliki dua gedung berlantai tiga dan lima di lokasi itu. Gedung pertama berlantai tiga, yang selesai dibangun dua tahun lalu, sampai sekarang ternyata belum dihuni walet.

Meski demikian, minat untuk membangun gedung baru tidak surut. Dalam tiga tahun ini malah terjadi booming pembangunan gedung-gedung seperti itu di kawasan Serpong. Bentuk bangunannya pun bermacam-macam, seperti gedung perkantoran atau apartemen.

Di Desa Serpong di selatan "Perancis", beberapa gedung sarang burung walet juga dibangun di tepi Sungai Cisadane. Di Desa Kademangan, Serpong, demikian juga.
Kedatangan burung walet ke sembarang tempat, dan kadang tidak dapat diduga manusia, mendorong bermunculannya gedung-gedung sejenis di beberapa kompleks perumahan di Kecamatan Serpong. Salah satunya terdapat di Perumahan Ciater Permai, Desa Ciater.
Di Blok D-4 perumahan itu, saat ini mulai dibangun gedung burung walet oleh seorang pengusaha, dengan terlebih dahulu merobohkan empat rumah warga yang dibelinya. Penghuni lain protes.
"Masak, peternakan dibangun di tengah-tengah permukiman," kata Denny Kaban, salah seorang warga Blok D-4 Ciater Permai.
Gedung burung walet di Ciater Permai marak menyusul masuknya burung itu ke dua rumah di Blok D-4 sekitar 10 tahun lalu. Pengusaha yang hendak mengembangkan usahanya di perumahan Ciater Permai lantas membeli kedua rumah, yang ternyata disukai burung walet.

Menurut seorang pemilik sarang burung walet lainnya, Mulyadi, orang-orang berduit semakin tertarik bermain di dalam bisnis sarang burung walet terjadi setelah melambungnya nilai dollar.
"Sarang burung walet umumnya untuk diekspor, seperti ke Hongkong dan Cina. Jangan lupa saat ini di Cina banyak OKB (orang kaya baru) yang menyukai sarang burung walet," kata Mulyadi.
Ia membangun gedung berlantai tiga dengan lantai kayu di tanah miliknya di Desa Kademangan, Serpong, pada tahun 1999. Baru sekitar tiga bulan gedung walet berukuran 9 x 15 meter yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 90 juta, datang burung sriti dan selanjutnya diikuti burung idaman, walet. Warga lain ikut membangun.

Babak selanjutnya, ia terima order pembangunan gedung di sejumlah lokasi. Kepercayaan orang semakin kuat karena dia mempunyai cara mendatangkan burung walet, dengan memutar CD (compact disc) berisi rekaman suara kicau burung itu.
Gedung pertama yang dibangun Mulyadi lebih merupakan rumah contoh. Gara-gara sering didatangi orang yang melihat-lihat, burung walet bubar dari tempat itu. Baru beberapa bulan ini gedung ditutup untuk umum sehingga walet kembali datang. Katanya, "Saya belum pernah memanen sarang burung walet dari gedung itu."

Kapan masa panen sarang burung walet itu, katanya, sulit ditentukan. Pemilik yang kuat keuangannya menunggu sampai dua tahun, baru memanennya dengan hasil yang memuaskan.
Dari lantai gedung seluas satu meter persegi dapat dipanen tiga ons sarang burung walet, berasal dari 70 ekor walet. Bayangkan, berapa hasil yang diperoleh jika gedung dihuni oleh 7.000 ekor?
Modal yang sampai ratusan juta rupiah membuat para warga setempat tak mampu ikut berbisnis.

"Uang dari mana saya bisa membangun sarang burung walet," kata Ny Oman (60), warga RT 04 RW 05 Cilenggang, yang rumahnya berada di antara dua gedung walet.
Warga kebanyakan hanya berharap, burung walet datang ke rumah tinggal mereka, bertelur, dan bersarang dengan air liurnya yang berharga. Ada baiknya warga membangun rumahnya tinggi-tinggi. Siapa tahu walet datang sehingga uang pun datang. Daripada menelan air liur sendiri melihat kemakmuran tersebut. (Agus Mulyadi)

Sumber :Kompas

Wednesday, May 6, 2009

Cisadane Dulu n Kini

Lima abad silam di sepanjang bantaran Sungai Cisadane dipenuhi bangunan langgam China. Kini di pinggiran sungai sepanjang 140 km itu berserak rumah-rumah walet. Tidak ada keterangan pasti kapan bangunan-bangunan walet itu mengubah wajah bantaran Sungai Cisadane. Namun, berdasarkan penuturan Sai Hu Iy, pengusaha walet di Serpong, Tangerang, pada 1990 mulai banyak terlihat rumah walet di hilir sungai seperti di Serpong dan Cisauk.
Kedua tempat yang masuk dalam wilayah Tangerang, Provinsi Banten, itu memiliki agroklimat sesuai habitat walet: hangat dan lembap. Berdasarkan data dari para pedagang pengumpul setempat, diperkirakan pada 1997 produksi sarang walet di Tangerang mencapai 240 kg/tahun.

Sejalan dengan pemanasan global, suhu lingkungan di hulu Sungai Cisadane pun terkena imbas. Daerah-daerah yang semula bersuhu dingin-siang hari kurang dari 23oC-menjadi 25-26oC. 'Walet menghendaki suhu tidak terlalu dingin. Ia nyaman di kisaran 28-29oC,' kata Mulyadi Latief, pemilik realestate walet di Cisauk, Tangerang. Wajar kalau belakangan di daerah hulu sungai banyak berdiri rumah walet. Di Desa Cibeber, Leuwiliang, Bogor, misalnya, terdapat minimal 10 rumah walet berukuran besar. Areal sawah yang membentang luas dan vegetasi tanaman menghijau di perbukitan sangat mendukung perkembangan populasi walet.

Bergeser ke dingin
Sai Hu mengamini, di daerah aliran Sungai Cisadane habitat walet mulai bergeser ke hulu. Ia mengalami sendiri. 'Pada 2002 Desa Cibeber masih dingin, makanya tidak ada walet. Yang masuk pertama kali ke dalam rumah adalah seriti,' kata Sai Hu.

Di rumah berukuran 20 m x 9 m setinggi 3 lantai ia harus melakukan putar telur-telur seriti diganti telur walet-untuk mendapatkan populasi walet. Selama 3 tahun Sai Hu melakukan putar telur, walau hasilnya jeblok. Setiap piyik walet yang ditetaskan mati sebelum berumur 1 minggu. 'Semuanya mati,' imbuhnya.

Titik terang keberhasilan baru terlihat kala biang kerok kematian piyik diketahui. 'Kelembapan di dalam gedung terlalu rendah, kurang dari 60%' katanya. Penyebabnya angin yang masuk ke dalam ruangan terlalu kencang. Maklum saja, lubang keluar-masuk burung dibuat sangat lebar, 1 m x 1 m. Setelah ditutup separuh, menjadi 60 cm x 80 cm, barulah tiupan angin agak mengendur. Terbukti kelembapan pun meningkat sampai 75%. Apalagi Sai Hu melengkapi ruangan dengan pengabut yang membuat kelembapan ruangan di atas 80%.

Hasilnya? Sejak 2005 suami Yetti Sumarjatty itu bisa mendengar piyik-piyik walet bercericit hingga belajar terbang dan membentuk koloni baru di sudut-sudut lagur. Menurut Sai Hu, dari 200 butir yang ditetaskan hampir semuanya berhasil menetas dan tumbuh hingga besar. 'Soal persentase jumlah walet yang kembali dan tetap menjadi penghuni setia rumah, saya tidak tahu secara pasti. Tapi yang jelas populasi walet terus bertambah,' tuturnya. Produksi sarang pun melambung. Setiap panen, 3-4 bulan, Sai Hu memetik minimal 10 kg sarang.

Selain Cibeber, daerah aliran Sungai Cisadane yang menjadi sentra walet baru adalah Desa Cibodas, Leuwiliang, Bogor. Di sanalah rumah walet Mulyadi seluas 300 m2 setinggi 3 lantai dibangun. Sama seperti Sai Hu, ia merintis kerajaan walet dengan putar telur.

Dalam 3 tahun, terhitung 2003, usahanya berhasil. 'Populasi cepat banyak. Mungkin karena selain dari putar telur, banyak walet gua yang kebandang masuk,' ujar Mulyadi. Sekitar 15 km dari lokasi terdapat 3 gua walet yang terus terusik karena pengelolaan serampangan.

Terbuka
Berdasarkan survei kecil-kecilan yang dilakukan Mulyadi, kini terdapat sekitar 50 rumah walet berbagai ukuran, mulai 6 m x 8 m sampai 20 m x 25 m setinggi 2-4 lantai di sepanjang Sungai Cisadane. Tingkat produksi setiap rumah berbeda-beda. 'Rumah kecil bukan berarti produksi sedikit. Sebaliknya rumah besar, tidak menjamin produksi tinggi. Itu tergantung teknik yang diterapkan,' lanjut Mulyadi. Ia menyebut sebuah rumah walet berukuran 8 m x 12 m setinggi 2 lantai di bilangan Cisauk menghasilkan 20 kg sarang setiap panen.
Teknologi dibutuhkan karena ada persaingan sesama rumah walet. Misal bangunan rumah walet minimal 2 tingkat, tidak ada yang 1 lantai. Kelengkapan suara pemanggil walet dicari yang paling canggih. Panen diatur 2 kali per tahun agar populasi cepat meningkat dan tidak menyebabkan walet stres yang berujung pada minggat dari rumah.

Soal pakan tidak perlu khawatir. Di daerah aliran Sungai Cisadane ketersediaan pakan masih melimpah. Selain perbukitan dan sawah yang luas, semak, rawa-rawa, serta kubangan-kubangan air bekas penggalian pasir menjadi sumber perburuan pakan. Yang menjadi masalah adalah kerusakan lingkungan di hilir yang membuat produktivitas sarang sejak 5 tahun terakhir diklaim beberapa peternak menurun hingga 60%.

Berdasarkan pengamatan Ir Lazuardi, konsultan walet di Jakarta Barat, ketersediaan pakan walet di Jawa Barat sejak 2000 secara umum terus menurun. Produktivitas sarang di berbagai sentra terkena imbasnya. Toh bukan berarti usaha pengembangan walet harus terhenti.

Kini sudah waktunya pengusaha walet mulai diterapkan sistem pemeliharaan intensif seperti beternak ayam. Atau menyediakan pakan tambahan buatan di ruang walet. Jadi, peluang untuk mengembangkan rumah walet di sepanjang aliran Sungai Cisadane tetap terbuka. (Lastioro Anmi Tambunan)

by : Trubuson

Friday, May 1, 2009

Are Microwaves Killing The Insects, Frogs, And Birds? And Are We Next?

Are Microwaves Killing The Insects, Frogs, And Birds? And Are We Next?
By Paul Raymond Doyon 3-20-8

I live in Kunming City, Yunnan Province, The People's Republic of China. Yunnan Province is one of the cleanest and most pristine areas of China ­ and Kunming City is also called the City of Eternal Spring since the weather here is quite pleasant throughout the year. However, it might as well be called "The City of The Silent Spring."

It is eerily odd but this city is strangely devoid of bugs ­ I see virtually no insects in this city ­ except for the occasional mosquito or the occasional cockroach. No ants, no spiders, no butterflies, no bees, no flies, no caterpillars, and so on down the line. I also see virtually no birds ­ I look up in the sky and there are no birds traversing it. When I go to bed at night I do not hear the sounds of crickets; and when I wake up in the morning I do not hear the chirping sound of birds.

And from what I can tell by reading media reports on the Internet, this phenomena of the sudden disappearance of life forms (insects, amphibians, fish, bats, birds, etc.) is happening all over the world. Just last year, the fact that there is (and has been) a worldwide die-off of bees was finally taken up by the media. The frogs have been dying for years ­ (although originally they were "mysteriously" showing up with deformities.) Now, just at the beginning of January 2008 a Swedish journalist sent me a report by the Canadian Broadcasting Company (CBC) about the disappearance of tens of millions of birds across North America ­ HYPERLINK http://rawstory.com/rawreplay/?p=372

What the heck is going on? And when are we going to do something about this? This is pretty serious stuff. If all the insects, amphibians, and birds are disappearing, how much longer will it be until we mammals start disappearing? (After all, many of us are already getting sick. There are about 80 immune system disorders we didn't have 20 years ago.) Albert Einstein made some kind of prediction that once the bees are gone, mankind would only have four or so more years left.

While the CBC report mentioned things like pesticides, urban sprawl, factory farming, deforestation, and so on, as possible causes, they conveniently failed to mention one other highly likely reason ­ Microwave Radiation from Cell Phone Antennas (which the CBC also conveniently installs on its own towers ­ a visible sign of CBC's cushy relationship with the cell phone industry and perhaps the reason they failed to mention the latter possible ­ if not probable ­ reason for the Avian Decline).

While the media is failing to direct our attention at the possible real cause of this extremely ominous situation ­ possibly because of its lucrative and cushy relationships with the mobile phone industry ­ one agency of the United States government is taking a more sober interest into this grave problem. Under the auspices of the U.S. Fish and Wildlife Services (USFWS) and under the direction of Albert M. Manville II, Ph.D., Senior Wildlife Biologist, Division of Migratory Bird Management, the following report was issued on May 10th, 2007:


"U.S. Fish and Wildlife Service Concerns Over Potential Radiation Impacts of Cellular Communication Towers on Migratory Birds and Other Wildlife ­ Research Opportunities." HYPERLINK


Now, you might be asking yourself, "Why would a government agency be interested in saving wildlife? Don't they also have cushy relationships with industry and aren't they more concerned with protecting corporate profits?" Well, this is the US Fish and Wildlife Service ­ not the DoD, FCC, FDA, FBI, or CIA. (We'll just have to cross our fingers that someone in one of those other agencies doesn't go and assassinate Dr. Manville.) Dr. Manville does really seem to be concerned about saving wildlife. And moreover, as is stated in the report: The USFWS [is] entrusted by Congress and required by statutes and regulations, to manage and protect migratory birds (and other fauna [ESA]) under authority of

­ [the] Migratory Bird Treaty Act ­

[the] Bald and Golden Eagle Protection Act, and ­

[the] Endangered Species Act.


This report informs us of the overall declining bird population (up to 50 million a year), increasingly threatened bird species, and how this is related to the massive expansion in cellular communication and the exponential increase in the number of cell-phone towers blanketing our landscape. One study of particular interest in the report is the survey of two berry farms in similar habitats in western Massachusetts. At one farm, where there are no cell phone towers, there are abundant signs of wildlife: e.g. migrating and resident birds, bats, small and large mammals, and insects including bees. However, at the other farm with a cell-phone tower located adjacent to the berry patch, there are virtually no signs of wildlife: tracks, scat, feathers, etc. Here the berries on bush go uneaten by birds and insects ­ while the ripened berries that have fallen to the ground are going uneaten by animals: turkey, fox, and other wildlife.


According to a report published on May 29th, 2007, entitled "Phones & Vanishing Birds" ­ HYPERLINK The sparrows have disappeared completely from the cities at least four years ago in Britain, as mobile phones grew in popularity. Third generation (3G) mobile phones were introduced in 2003, and there were over 65 million users in the UK by the end of 2005, more phones than people. (ISIS 2007)

There is ample evidence to suggest that it is indeed long-term exposure to microwave radiation ­ especially from 3G GSM (Global System for Mobile Communications) digital-phone technology ­ that is killing the birds. Scientists at the Research Institute for Nature and Forests in Brussels, Belgium, have produced the first evidence that mobile phone base stations are affecting the reproductive behaviour of wild sparrows. This finding comes as mobile phones are held suspect in the massive collapse of bee colonies all over the United States and Europe.


Fewer house sparrow males were seen at locations within relatively high electric field strengths of GSM base stations. (ISIS 2007) Further evidence comes from researcher Alfonso Balmori in Spain: Alfonso Balmori, a conservation biologist in Valladolid, Spain, reported a significantly lower number of white stork (Ciconia ciconia) fledglings in nests close to mobile phone transmitters compared to nests further away. (ISIS 2007) Could the above also be related to the decrease in fertility found in humans living in advanced countries? (There are now numerous research studies supporting this hypothesis.)

Balmori also found difference in how the birds behaved close to the phone antennae. Young birds died from unknown causes, and bird couples frequently fought while constructing their nests. Sticks fell to the ground, and the couple failed to make any headway. Some nests were never completed and the storks remained passively in front of the antennae. (ISIS 2007) One is here also reminded of SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) and teenagers with ADD (Attention Deficit Disorder) ­ not to mention increases in violence.


The observations in urban sparrows and the white stork population suggest that microwave radiation interferes with reproductive behaviour and breeding success, which would have decimated the wild populations. But that's not the whole story.

Several million birds of 230 species die each year from collisions with telecommunications masts in the United States during migration. Accidents happen mainly in the night, in fog, or bad weather, when birds might be using the earth's magnetic field for navigation, and could be seriously disoriented by the microwave radiation from telecommunication masts. (ISIS 2007)

While the above studies have looked at the decline of urban house sparrows and white storks, it is more than likely that this microwave radiation is affecting other ­ if not all ­ bird species.


In the UK, where the allowed radiation level is 20 times higher than in Spain, a decline of several species of urban birds has occurred, coinciding with the increasing installation of mobile phone masts. (ISIS 2007)


Birds (and insects and other small animals) would naturally be the first to obviously be affected by this increase in ambient radiation since naturally they have smaller bodies and hence less flesh to be penetrated by exposure to microwaves. Birds are good candidates as biological indicators for low-intensity electromagnetic radiation (EMR); they have thin skulls, their feathers can act as dielectric receptors of microwave radiation, many species use magnetic navigation, they are very mobile and possible psychosomatic effects are absent, as Everaert and Bauwens point out. (ISIS 2007)


Finally, chicken embryos exposed to microwave radiation from cell phones have shown both deformity and mortality.

Another important factor is that chicken embryos subjected to the radiation from a cell phone in the laboratory suffered much higher mortalities than non-exposed controls. Some years ago researchers in Russia showed that continuous exposure of the chick embryos during the 21 days of embryonic development resulted in 75 percent of the embryos dying, compared with 16 percent in the controls. (ISIS 2007)

The evidence keeps piling up as more and more studies appear that show that this microwave radiation is indeed insidiously killing ­ (not only ourselves but also) ­ our precious birds, amphibians, and insects. Many peer-reviewed studies relating to the destruction of birds, animals, and plants by microwave radiation can be found listed on the Website of Joris Everaert (biologist, ecologist, and photographer): HYPERLINK

Saturday, April 4, 2009

Walet Bontang, Kalimantan Timur

Edible Nest in Bontang, East Kalimantan.
TUJUH TAHUN SILAM HANYA ADA SEGELINTIR RUMAH WALET DI BONTANG, KALIMANTAN TIMUR. JUMLAHNYA KINI MELESAT HINGGA 100 RUMAH. MUSABABNYA PENINGKATAN PRODUKSI SARANG SANGAT FANTASTIS. SETIAP RUMAH DALAM 2 TAHUN RATA-RATA BERPRODUKSI 1.300 SARANG ATAU SETARA 11 KG.

Pencapaian produksi itu hampir sama dengan di Metro, Lampung, ketika mulai jadi sentra. Dalam hitungan tahun, produksi sarang sudah mencapai puluhan kilo dari rumah berukuran 10 m x 12 m setinggi 2 lantai. Itu artinya peningkatan produksi jauh lebih tinggi ketimbang rumah-rumah walet di Jawa seperti di Haurgeulis (Indramayu, Jawa Barat), Cilamaya (Jawa Barat), Pekalongan (Jawa Tengah), dan Sedayu (Jawa Timur) yang rata-rata 5-7 kg untuk rumah berumur 2 tahun.

Bontang memungkinkan menjadi sentra walet potensial karena populasi walet cukup besar. Sementara jumlah rumah walet masih terbatas. Di Kota Minyak itu areal pesawahan terbentang luas dan kelestarian hutan terjaga baik sehingga menjadi tempat persinggahan nyaman bagi walet. Lihatlah saat matahari mulai meninggi, burung-burung pemakan serangga itu terbang rendah menyambar pakan dari rumpun-rumpun padi. Sebagian lagi terlihat 'bergerilya' di pinggiran hutan mengerubungi pohon akasia yang mengeluarkan kutu pakan favorit si liur emas.
Sejatinya sebelum 2000-an di Bontang tidak terdapat komunitas walet. Diduga walet datang dari wilayah Kabupaten Berau-berjarak kurang lebih 100 km dari Bontang-mereka bermigrasi lantaran lingkungannya terusik. Berau selama ini dikenal sebagai sentra walet gua. Namun, karena pemanenan sarang yang serampangan, Collocalia fuciphaga itu banyak yang meninggalkan Berau.

Salah desain
Berkah dari walet migrasi itu dirasakan seorang pemilik rumah walet di pinggiran kota Bontang. Setiap kali panen dari rumah berukuran 8 m x 10 m setinggi 3 lantai, ia memanen 3.000 sarang. Menurut perempuan yang tidak mau disebut namanya itu, rumah dibangun 4 tahun lalu. 'Ketika rumah selesai dibangun, yang masuk langsung walet,' tutur Ir Lazuardi Normansah, konsultan di Jakarta Barat yang berkunjung ke Bontang pada November 2008. Sarang yang dihasilkan pun putih, lebar, dan tebal.

Menurut Lazuardi rumah-rumah yang sudah berumur di atas 2 tahun berproduksi rata-rata 10-11 kg. Dengan sekitar 50 rumah yang berproduksi tinggi-panen tidak berbarengan-setiap minggu terkumpul tidak kurang dari 100-150 kg sarang walet di Bontang. Sarang-sarang itu kemudian dibeli oleh para pengepul dari Balikpapan, Kalimantan Timur. 'Harganya naik-turun sesuai pasaran,' katanya. Sekarang berada di posisi Rp11-juta/kg.
'Jika tata ruang rumah walet diperbaiki, hasil produksi bisa ditingkatkan,' tutur Lazuardi. Ia melihat kondisi beberapa rumah walet di Bontang salah desain. Akibatnya, produksi tidak maksimal. Bahkan sebuah rumah walet berukuran 6 m x 13 m yang terletak 20-30 km dari kota Bontang, sudah 3 tahun tidak berpenghuni. Sementara rumah-rumah walet di sekitarnya menghasilkan puluhan kilo sarang.

Berdasarkan pengamatan Lazuardi kondisi ruangan rumah walet itu terlalu gelap. Ini membuat walet kesulitan memasuki ruangan demi ruangan. Mengatasinya, 'Cukup diberi lampu 5 watt,' ujarnya. Selain itu suhu ruangan terlalu panas: 33oC karena lubang angin berdiameter 10 cm banyak yang disumbat. Idealnya suhu ruangan rumah walet 28-29oC dengan kelembaban lebih dari 80%. 'Jika sumbat dibuka, walet pasti bisa tinggal lebih nyaman,' Lazuardi meyakinkan.

5 kali lipat
Meski populasi walet di Bontang banyak, untuk memancingnya masuk rumah, para pemilik tetap menggunakan CD suara walet. Speaker pemanggil walet ditempatkan di atas atau di bawah lubang keluar-masuk dan di tengah ruangan agar bisa terdengar di semua sudut. Lubang keluar-masuk sebaiknya dibuat 2 buah, misal dari arah utara dan barat. Maksudnya agar walet bisa leluasa memilih jalan keluar-masuk yang dianggap nyaman. Idealnya ukuran lubang keluar-masuk 20 cm x 80 cm untuk yang di utara dan 30 cm x 100 cm di barat.

Lalu soal sirip, bilah papan untuk menempelnya sarang. Di Bontang banyak pemilik rumah walet menggunakan kayu meranti. Kayu ini dipilih karena lebih kuat ketimbang sengon dan ketersediaannya melimpah. Sirip selebar 20 cm itu dipasang membentuk persegi empat dengan panjang 2 m. Jarak antarsirip maksimal 30 cm. Lebih dari itu burung merasa tidak nyaman sehingga malas membuat sarang.

Selain bentuk bangunan, teknik-teknik budidaya walet di Bontang pada dasarnya sudah mengadopsi teknik modern di Jawa dan Sumatera. Maklum sebagian investor yang membangun rumah walet di sana adalah para praktisi di Pulau Jawa, seperti Cirebon dan Surabaya. Mereka menjadikan Bontang sebagai ladang bisnis setelah Pontianak dan Ketapang, di Kalimantan Barat dianggap jenuh. Berdasarkan pengamatan Harry K Nugroho, praktikus di Kelapagading, Jakarta Utara, kini di Pontianak ada sekitar 500 rumah walet dan di Ketapang 400-500 rumah.

Sebelumnya kedua kota itu menjadi sasaran pebisnis walet. 'Dulu Pontianak dan Ketapang mendapat limpahan walet dari Kalimantan Tengah yang habitatnya rusak akibat kebakaran dan penebangan hutan,' kata Harry. Sekarang giliran Bontang yang jadi sasaran pebisnis walet.

'Dibanding Samarinda dan Balikpapan, populasi walet di Bontang memang lebih tinggi. Jumlahnya mencapai 3-5 kali lebih tinggi daripada Samarinda,' papar Lazuardi. Kendati begitu, Samarinda dan Balikpapan tetap menjadi lokasi incaran bagi yang ingin membangun rumah walet di Kalimantan Timur. Buktinya, 'Pada 2008 banyak bermunculan rumah walet di Balikpapan dan Samarinda,' ujar Vianny Cin Hiong, konsultan di Jakarta Barat. (Lastioro Anmi Tambunan)

By :Trubuson

Tuesday, March 17, 2009

Edible-nest Swiftlets

Edible-nest Swiftlet Collocalia fuciphaga
Wat Chong Lom, Samut Sakhon, Bangkok
Wat Chong Lom or Wat Sutthi Wata Wararam fronts the river mouth at Tambon Tha Chalom on the western side of the Tha Chin River. It was constructed during the Ayutthaya period, and the religious buildings in the temple have been beautifully renovated. Apart from the aesthetic qualities of the temple complex, the site is well-known amongst birders for its colony of Edible-nest Swiftlets Collocalia fuciphaga. The colony is located high up in the roof of the shrine of one of the temple’s founders, and is guarded at all times to stop thieves stealing the valuable nests - the main ingredient of ‘bird’s nest soup’ .
The colony has been using this building for thirty years, and some nests are harvested annually to pay for the protection of the colony and for tubs of mealworms used to feed very young swiftlets (see bottom photo) that are routinely found on the temple floor and are looked after until (hopefully) they fledge. Donations are very welcome from visitors of course.
(Samut Sakhon is located about 28 kms. from Bangkok along Highway no. 35, the Thon Buri-Pak Tho Highway. It is also accessible by train from the Wongwian Yai Railway Station in Bangkok.)

The Edible-nest Swiftlet Collocalia fuciphaga is found throughout S E Asia and is renowned for the fact that the birds’ nests are used for making bird’s nest soup. During the breeding season, the salivary glands of this species expand to produce the special saliva for binding detritus together for building the nest, which is a shallow cup stuck to the cave wall. Nests which are ‘white’ and made purely or almost purely of saliva - like those of the Edible-nest Swiftlets above - are the most valued. When cooked, the birds’ nests have a gelatinous texture and in Chinese cuisine high medicinal and aphrodisiac qualities are ascribed to these nests. Scientific investigations reveal these nests to be high in protein with about 7% lime. Many consumers of bird nest soup report significant improvement in appetite. However, some others noticed excessive secretion of gastric acid that may cause acid reflux symptoms.





Nests are harvested from cave walls and there is increasing concern that over-harvesting is causing several species of cave swiftlets to become scarce. Bird nest merchants in southeast Asia (including Vietnam, Indonesia, Thailand) have started to raise and breed the swiftlets in house-like structures. They build the shelters to attract wild swiftlets to build nests in them. The “wrong” kind of nests are then destroyed along with the eggs inside. Over time, the selection process only leaves behind a colony of swiftlets that produce the right kind of nest for the trade. “House nests” are priced much lower than the “cave nests” due to the level of risks involved in the harvesting process of the latter. (Adapted from Birding India: Edible-nest Swiftlet)
By Charlie

NEW Hottest Product

Grade :SUPER


Grade : A1

Grade : Uncompleted


Call 4 the price ...

Thursday, March 12, 2009

有關燕子

東南亞的燕窩食品工業中所養殖的燕子多半是“Collocalia Fuciphaga”品種,也就是一般人稱為可食用的白燕窩品種。

燕子(Order: Apodiformes Family: Apodidae)


燕子是洞穴居住類的鳥類,色身暗褐或者灰色,在臀部以及底部呈白色。成長的燕子大約3 1/2 到6 英吋長(就如麻雀般大小),重量約為半盎司。這種燕子飛行的時候偏低,比其他品種的燕子慢且不穩定。他們體型較小,表面上看起來與其他燕子相似,但是他們有著較其他燕子細長,像大鐮刀般的羽翼。

飲食、生命週期和社會結構這種燕子吃正在飛行的昆虫,他們能夠在空中捕捉正在飛行的昆虫。在他們住所中甚至有大約百萬只燕子。他們一般選擇在洞穴、或者已被遺棄的老房子舊建筑中繁殖。在繁殖的季節里,燕子的唾液腺增大,並以產生的唾液來鞏固鳥巢,這個鳥巢的建構過程大約使用1 1/2 到2 個月的時間。建好的鳥巢可以裝1到2顆蛋。對棲所的適應與影響洞穴居住類的燕子是唯一在黑暗中使用聲波探側(回音定位)的鳥類。

它的聲波探側從1,500 到5,500 赫茲頻率 - 人類的可聽見範圍。聲音散髮率大約每秒六次。(這種燕子是唯一真正的洞穴居民。) 他們不僅能夠在黑暗中飛行,甚至還能夠在黑暗中準確地從上百個鳥巢中找到自己的窩。燕子的鳥巢類似一個小托架, 有時裡面會裝著一些草或羽毛。雄性燕子會從它的舌頭底下反芻一串細長的唾液凝膠,像皮膚傷口復原般的編製鳥巢。唾液凝膠在干了以後就會像水泥般凝結,並形成類似個杯狀的鳥巢,依附在洞穴或者建筑物的牆上。燕子(以及許多其他種類的蝙蝠)的糞便以及其他飛行昆虫的尸體對整個社區提供了能量。



群體狀態和COLLOCALIA FUCIPHAGUS 燕種燕窩價錢的攀升以及人們對“燕窩湯”的需求已經導致燕子數量減少。在大部分生產燕窩的國家,燕子正在逐步的減少。無論如何,保存可食用燕窩的工作已被展開。東南亞國家的協會(東南亞國家聯盟) 建立了一個工作小組,以保証一個區域內燕窩的采收量可以達至平衡。自1934 年以來,沙拉越通過了一個法令,說明同一個區域內的燕窩只能在采收的75天后以後再度采收。與此雷同,在沙巴,白燕窩平均一年只能采收2次。除此,隨著養殖燕窩工業的引進,燕子的數量已經有非常大的提升。可食用的燕窩也可以被稱為白燕窩以及褐色燕窩(Collocalia Fuciphaga)。

Tuesday, March 10, 2009

Treasure in Dau Mot, Vietnam

TAMAN REKREASI LAC CANH DAI NAM VAN HIEM DI DAU MOT, PROVINSI BINH DURONG, VIETNAM, KETIBAN DURIAN RUNTUH. LIMA GUNUNG BERTEMBOK BATU SETINGGI 14 M YANG DIBANGUN UNTUK MENARIK PENGUNJUNG DIMASUKI PULUHAN WALET. DI SANA DIPETIK 5 KG SARANG PUTIH PER PANEN.

Kabar itu diterima Hary K Nugroho, praktikus di Jakarta Utara, usai membawakan makalah pada seminar walet di Hotel Ramana di Le Vansy, Vietnam, pada medio Desember 2008. Berselang satu hari kemudian Hary dan istri bergegas menuju Disneyland versi negara paling timur di semenanjung Indochina itu. Perjalanan selama 3 jam ditempuh dengan mobil. Kecuali sungai yang alirannya bermuara di Saigon, tak banyak pemandangan menarik di perjalanan. Hampir setiap wilayah yang dilalui merupakan daerah pabrik dan perkebunan anggur.
Perjalanan panjang itu terbayar kala cericit walet terdengar riuh dari sebuah tugu berjarak 300 m dari pintu masuk taman. Sumber suara berasal dari tweeter yang dipasang di samping lubang berukuran 40 cm x 40 cm. Dari lubang yang semula untuk sirkulasi udara itu kini dialihfungsikan menjadi pintu masuk ke dalam tugu. 'Jumlah walet yang terlihat saat itu sekisar 40-60 ekor,' ujar Hary.

Pemandangan luarbiasa justru tampak di 5 gunung buatan yang berderet rapi. Lokasi yang ditempuh 15 menit dengan berjalan kaki dari tugu itu juga dipenuhi suara tweeter. Dari kejauhan terlihat ratusan si liur emas tengah mengitari gunung itu. 'Jumlahnya 3 kali lipat dari walet yang ada di tugu,' kata pemilik Eka Walet Center itu terkesima.

Gunung buatan
Sejatinya Dau Mot merupakan lintasan walet. 'Walet terbang menuju gua-gua di Provinsi Kho Hua,' kata Hary. Produksi sarang walet di Vietnam sebagian besar berasal dari gua di Pulau Salangane di Nha Trang, Provinsi Kho Hua. Setiap tahun pulau yang menjadi salah satu objek wisata itu memproduksi 1 ton sarang. Itu tidak lepas dari kondisi pulau yang lingkungannya masih hijau. Artinya serangga pakan walet melimpah. Udara pun lembap, sekitar 80-90%.

Kondisi itu tak jauh berbeda dengan taman rekreasi yang dibuat 2 tahun lalu itu. Permukaan luar gunung basah karena ada aliran air deras dari mesin kabut. Bahkan aliran air lebih deras di gunung yang terletak di tengah barisan itu. Sebab itu di sana lebih banyak dijumpai walet. Kabut juga diarahkan ke lubang udara. Pantas saja setelah puas bermain di luar, walet mau masuk ke dalam.

Isi gunung itu dirancang menyerupai gua. Dengan bantuan lampu temaram si liur emas menjelajah sampai ke dasar gua. Lantai gua becek sehingga lembap. Namun, populasi sarang tidak merata. Walet banyak bersarang di sudut dinding yang bergelombang.
Hary optimis, bila dikelola dengan benar 10 tahun mendatang produksi sarang akan merata di setiap gunung. Apalagi di taman hiburan itu terdapat sungai besar yang dikelilingi pepohonan. Itu artinya walet tak perlu terbang jauh mencari pakan. Terbukti sarang yang dihasilkan pun berkualitas baik: putih, tebal, dan berbentuk mangkuk.
Mulai ramai
Selain Dau Mot, lokasi baru budidaya walet di Vietnam ada di Go Cong, Provinsi Tien Giang. Empat tahun lalu kota berjarak tempuh 3 jam dari Saigon itu tidak dijumpai rumah walet. Maklum informasi budidaya walet minim, penduduk hanya tahu walet bersarang di gua. Dari walet-walet gua itu produksi minuman berbahan baku sarang walet diproduksi.

Rumah walet yang menyatu dengan ruko mulai muncul awal 2006. Contohnya ruko milik Le Danh Hoang. Lantai 2 dan 3 ruko itu dipakai untuk budidaya walet. Ruko itu berada tepat di bantaran sungai. 'Di daerah ini banyak serangga,' ujar Le Danh. Maklum, tak jauh dari ruko terdapat sawah. Teknik budidaya yang diterapkan pria 24 tahun itu seperti yang ada di Indonesia. Misal, untuk menjaga kelembapan tinggi digunakan mesin kabut. Mesin berkekuatan 110 watt dinyalakan pada siang hari selama 4 jam. Hasilnya setiap 2 bulan memetik 2-3 kg sarang. Sukses itu pula yang membuat para tetangga mengikuti jejaknya. 'Kini ada 5 rumah walet dengan produksi 2-3 sarang per panen,' katanya.

Beragam harga
Vietnam sebetulnya sudah lama mengembangkan walet. Saat budidaya walet di Indonesia marak pada 1997, di Vietnam juga ada rumah walet. Namun, pengusahaannya tersembunyi. Maklum pemerintah dapat dengan mudah mengambil usaha itu.
Sejalan dengan perkembangan populasi walet, wilayah lintasan walet di Vietnam meluas mulai dari Saigon bawah, Da Nang, sampai ke Nha Trang. Di daerah lintasan-lintasan itulah bermunculan hingga 300 rumah.

Warga Vietnam tertarik mengembangkan walet karena harga sarang cukup tinggi dan pemasarannya mudah. Harga retail sekilo sarang di Vietnam 20-juta-30-juta VND setara Rp11,76-juta-Rp17,65-juta/kg tergantung kualitas. Yang termasuk kualitas rendah atau remahan harganya Rp3-juta/kg. 'Pembeli di sana menerima beragam kualitas, termasuk kualitas rendah sekalipun,' kata Hary. Dengan potensi alam yang terjaga baik Vietnam kini siap menjadi sentra walet di Asia Tenggara. (Lastioro Anmi Tambunan)
By :Trubuson

Tuesday, March 3, 2009

Rekommend Book "Mario Teguh"

The best moderator... "Becoming A Star"




Siapa yang tidak ingin hidupnya bersinar seperti bintang di langit?
Siapa pun pasti mau... dan pasti bisa! Selain takdir Tuhan, hal ini
juga bergantung pada sejauh mana seseorang menemukan dan mengolah
potensi dalam dirinya. Melalui buku yang sangat ber-pengaruh ini,
Mario Teguh mengajak Anda menggali segala potensi yang ada pada diri
masing-masing, kemudian memanfaatkannya dalam mencapai segala
kesuksesan. Simak untaian sederhana dan mudah dipahami namun dalam
penuh makna, dan yang lebih penting lagi: APLIKATIF!

Sunday, February 8, 2009

Nirwana Walet di Bumi Selaparang

Bangunan di Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu serupa rumah walet lain yang mengapitnya. Dinding tebal dan terdiri atas 3 lantai. Umur bangunan bekas ruko itu diperkirakan 18 tahun. Yang berbeda, 'Produksi sarang rumah itu paling banyak, bisa sekuintal setiap panen,' bisik Sugeng Praminto, peternak walet di Mataram membuka rahasia.

Malam di penghujung November 2008 Trubus dan Sugeng menyusuri setiap jalan di Ampenan, sekitar 5 km dari Mataram, ibukota NTB. Di sepanjang jalan kawasan pecinan itu bangunan-bangunan walet mudah dijumpai. Selain ada yang mempertahankan sebagai bagian ruko, banyak pula yang merombaknya menjadi bangunan walet modern. Suara CD pemikat walet dari tweeter sahut-menyahut. Singkat kata suasana di sana seperti sentra walet di kota Metro, Lampung.

Bangunan penghasil sarang walet terbesar itu salah satu yang juga direnovasi pemiliknya. Dua dari tujuh lubang masuk si liur emas itu diperbesar 3 kali lipat dari ukuran sebelumnya, 90 cm x 30 cm. Lubang-lubang itu diplester semen. 'Kalau sore walet-walet itu terlihat masuk ke lubang besar itu,' ujar Sugeng yang memiliki rumah walet 2 lantai di Switha, Mataram, itu.

Tidak berkamar
Untuk membuktikan bangunan itu istimewa, 2 hari kemudian Trubus datang tepat sore hari saat walet mulai masuk. Selama 1 jam mengamati dari ruko di seberang bangunan itu, tak terhitung jumlah walet masuk ke dalamnya. Langit di sekitar rumah itu menghitam oleh walet-walet yang terbang. Kontras bila dibandingkan bangunan walet berjarak sekitar 25 m ke arah pelabuhan Ampenan. Yang terbang dan masuk puluhan walet saja.

Sulit mengungkap rahasia walet betah bersarang di sana. Yanto - nama samaran - penanggung jawab rumah itu lebih suka menjawab tidak tahu saat ditanya Trubus. Namun, isi bangunan sedikit tersingkap. Tidak ada kamar seperti rumah-rumah walet di Jawa. Ruangan model hall itu membuat walet lebih leluasa bergerak di roving area, sebelum beristirahat di sirip-sirip kayu di lantai bawah. 'Tanpa kamar juga membuat sirkulasi udara dan sinar matahari lebih merata di dalamnya. Ini disukai walet dan mulai banyak dipakai di rumah walet modern,' kata Harry K Nugroho, praktisi walet di Jakarta Utara.

Sejatinya tak hanya Ampenan yang penuh sesak oleh bangunan walet di Lombok. Di bilangan Cakranegara, di pusat kota, terlihat pemandangan serupa. Menurut Tjie, pengusaha emas yang 2 lantai tokonya disulap menjadi rumah walet, di Cakranegara bangunan walet marak berdiri sejak 1990-an. Saat itu jumlahnya belasan. 'Tapi tidak sehebat sekarang yang tiap ruko ada rumah waletnya,' kata Tjie yang sudah memetik 8 kg sarang Collocalia fuciphaga dari rumah yang dibangun 3 tahun silam itu. Panjang jalan Cakranegara sekitar 2 km dengan puluhan rumah walet 'berkedok' ruko.

Rumah tertua
Tjie mengungkapkan Cakranegara memiliki rumah walet istimewa. 'Jika di Ampenan ada yang panen sampai puluhan kilo sarang, di sini ada rumah walet tertua,' katanya. Bangunan walet yang dimaksud, terletak di perempatan Jalan Selaparang - nama lain Lombok. Bangunan 1 lantai itu berdinding semen. Atapnya seng yang sudah berkarat digerogoti umur. Hanya ada 2 lubang masuk walet di situ. Lubang itu sebenarnya ventilasi dari pintu. 'Saya tidak tahu produksinya, tapi bangunan itu sudah ada sejak saya kecil,' ujar Tjie yang menginjak usia 70 tahun.

Di luar kedua sentra itu, bangunan walet mulai menjamur pula di Swithe. Lokasinya di Kecamatan Sendobaya, sekitar 5 km dari pusat kota itu semula hanya kompleks pertokoan. Namun, kini belasan rumah walet berdiri tegak di sana. 'Bangunan-bangunan itu mulai ada sejak 3 tahun lalu,' kata Sugeng yang berinvestasi Rp125-juta untuk membangun rumah walet 9 m x 13 m setinggi 2 lantai. Seperti di Ampenan dan Cakranegara, walet langsung masuk, tidak didahului oleh sriti. 'Dalam setahun saja sudah bisa panen 1,6 kg sarang,' kata pegawai Departemen Pekerjaan Umum NTB itu.

Pakan melimpah
Populernya walet di Lombok tak lepas dari melimpahnya sumber pakan. Sawah dan hutan yang menjadi sumber serangga masih tersedia. Di Ampenan menuju objek wisata Pantai Senggigi, sekitar 3 km menghampar sawah dan kebun kelapa. Beberapa bukit menghijau tak jauh dari kebun-kebun kelapa itu. Demikian pula di Swithe dan Cakranegara. Di kedua tempat itu walet mencari pakan ke arah selatan yang masih disesaki sawah dan ladang.

Menurut Sugeng, polusi udara yang kecil juga turut mendukung walet betah tinggal. Rumah walet di Lombok pun tidak fanatik memakai CD pemikat walet. Di Cakranegara nyaris tidak terdengar suara pemikat walet dari tweeter. Pengabutan dalam rumah untuk mencapai kelembapan 80 - 90% yang diinginkan walet jarang dipakai. Maklum berdasarkan pengukuran Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi kelembapan harian di NTB berkisar 70 - 90% dengan curah hujan 1.500 - 2.000 mm/tahun. Kondisi itu cukup nyaman bagi walet. Sebagai ganti pengabutan, peternak hanya memperbanyak lubang ventilasi dari PVC. Untuk bidang dinding seluas daun pintu dibuat 6 - 8 lubang berdiameter 10 cm.

Soal pasar? Sejauh ini tak sulit menjual produksi sarang walet dari Lombok. Banyak penampung setempat berebut sarang. Itu belum termasuk pengepul dari Surabaya. Agustus 2008 dari 2,4 kg sarang Sugeng menangguk pendapatan Rp13,5-juta. Harga normal sekilo sarang Rp10-juta - Rp11-juta. 'Agak rendah karena sarang yang dijual masih kotor, banyak bulunya,' ujar Sugeng. Toh pendapatan itu sudah dianggap besar oleh Sugeng yang baru mencicipi manisnya rupiah dari si liur emas. (Dian Adijaya S)

By : Trubuson

Sunday, February 1, 2009

Swiftlet Attraction

How to attract the swiftlet ?
U can used :

1. Long Ranged BazookaThe purpose is to send the sound waves into the air to attract swiftlet that may pass the area.The speakers are waterproof and normally kept indoor at the entry hole.This special type speaker could help in reduce noise pollution of neighborhood nearby. The range of distance traveled by the sound produced by speaker is approximate 800 M - 1200 M.

2. Middle Ranged SpeakerThe purpose is to send the sound waves into the air to attract swiftlet that may pass the area.The speakers are waterproof and normally kept indoor at the entry hole.This special type speaker could help in reduce noise pollution of neighborhood nearby. The range of distance traveled by the sound produced by speaker is approximate 500 M - 700 M.

3. Hexagonal Speaker.
This system able to attract swiftlets and pooling birds at the rooftop of the swiftlet house.The purpose of the hexagonal speaker is to call birds within 1 km radius area to come over to the swiftlet house roving yard.Thus, the leading sound at the entry hole will guide birds into the house.


Mist Cooling Pump System


This is an auto control humidifier system which appliedinside the swiftlet house. Through flexible piping with nozzle built in, the system spray mist automatically to maintain internal humidity at a level which suitable for swiftlet breeding and inhabiting. The machine advantages:Noiseless, Energy saving 0.25Hp, Durable, free of maintenance.The system is designed into 3 stages of water filtering process.

Saturday, January 31, 2009

Health Benefits

Birds’ nest has been used for a long time in traditional Chinese medicine for many centuries. It is classified as a cold food or “ying” according to the Chinese food concept.Birds’ nest is mostly composed of water-soluble protein that is easily absorbed by human body. The total protein content is about 65 percent. The other constituents are moisture (~ 10%), traces of fat (~23.3%), and carbohydrate (~0.8%). Other minerals present are calcium and iron. The total content of Amino acid in birds’ nest is approximately 6 percent. Amino acids isolated from birds’ nest consist of amide, humin, arginine, cystine, histidine, and lysine. It is possible that when taken with other certain foods through a cooking process,such as ginseng (as a hot food or “yang”), may have high nutritive and therapeutic value to human body.Birds’ nest is regarded as having a wide range of tonic and medical values. Traditionally, it is believed that birds’ nest can strengthen the lungs and use in the curing and strengthening of body in diseases related to weak blood, body overheat, and other bronchion ailments. Consumption of bird nest is also recommended to complement other treatments to combat degenerative diseases such as cancer and also for recovering health after illness, or surgery. Recent studies in Hong Kong suggested that it may even be useful in the treatment of AIDS.

It is also claimed that Bird's nest contains elements which can stimulate cell growth and especially beneficial to elderly recovering from various body ailments. Birds’ nest is especially valued by ladies for its reported properties of making the skin delicate and growing radiantly. It is also mentioned that an expectant mother consuming bird nests would have a baby with fine and smooth complexion.

Friday, January 30, 2009

The Species of Swiflet

There are many species of swiftlet family around the world but not all species of swiftlet can produce edible nest. Only 5 species from the family of Apodidae known scientifically as Collocalia Fuciphaga (White-nest Swiftlet), Collocalia Maxima (Black-nest Swiftlet),Collocalia Esculenta (Grass-nest Swiftlet), Collocalia Vanikorensis (Mossy-nest Swiftlet), and Collocalia Brevirostris (Himalayan Swiftlet) can construct edible nest. Only the first three main edible nest producing swiftlet will be mentioned.

Collocalia Fuciphaga Species

Also known scientifically as Aerodromus Fuciphagus, this specie is popularly known as the White Nest or House Nest swiftlet. They construct their nests with a glutinous nest-cement produced by a pair of large, lobed salivary glands under the tongue. It is this nest-cement that constitutes the raw material of bird’s nest soup and renders the nest its commercial importance. The glutinous strands content in the nest of this species is about 85-97% in its unprocessed form, making it the most sought after in the market as well as commanding the highest price. Most if not all bird’s nest farm cultivate this particular specie.
C.Fuciphaga measures about 12 cm in its entire length and weighs about 15 to 18 gm. This swiftlet has a band of brownish gray feathers across the rump with dark brown eyes, black beak and feet. Eggs are laid 2 at a time, slightly oval in shape and white in colour.


Collocalia Maxima Species

Also known scientifically as Aerodromus Maxima, this species’ popular name is Black-nest Swiftlet because it uses its brown feather together with its glutinous strands as cement for making its nest, thereby making its nest blackish in colour. Its feet have feathers all over and thus contribute in the formation of its nest. The glutinous strands content in this nest is only 5-15% in its unprocessed form.


This nest is very popular in making bottled or canned bird’s nest, and sold most popularly in cake form or as strips and crumbs.C.Maxima is larger than the Fuciphaga measuring averagely at 13 cm and weighs about 28 gm. At a glance this 2 specie might look the same but on closer examination they are quite different. The distinguishing difference is its lower leg grows a row of small feathers. This swiftlets nests can be the red-legged or white-legged form and usually lays one egg.



Collocalia Esculenta Species

Its popular name is Grass Nest as it uses grass with its glutinous strands as cement for making its nest. The nest is normally brownish in colour with the glutinous strands content at about 5-15% in its unprocessed form. This swiftlet nest is highly demanded for restaurant consumption and is sold most popularly as strips or in crumbs and cake form.C.Esculenta has a glossy, darkish blue-black colour and is smaller than C.Fuciphaga and C.Maxima measuring only about 10 cm in length.

All these species has slightly parted tails. Good quality nests from these species can be distinguished by the firm, white basal attachments and a comparatively large proportion of nest-cement with few feathers or grasses in the nest-cup, a thick body and in perfect shape, form as well as colour.

Saturday, January 24, 2009

Recommended Book "Field Guide to the Birds of Java and Bali "


= Field Guide to the Birds of Java and Bali =
Paperback: 390 pages
Publisher: Gadjah Mada University Press (1988)
Language: English
ISBN-10: 9794200921
ISBN-13: 978-9794200926
Average Customer Review: 5 star


Locations Mentioned in Text:
1. Jakarta (Muara Anke). 2. Cibodas/Gunung Gede-Pangrango. 3. Pelabuhan Ratu. 4. Carita (Curug Gendang). 5. Pangandaran. 6. Yogyakarta (Candi Borobudur).. [PS: Bogor is between Jakarta and Cibodas; Segara Anakan is just east of Pangandaran.]

On the second day it rained all day; did very little at Carita. Birding highlights: Streaked Weaver. Refused entry to Cerug Gendang (waterfall reserve) by PHPA guard, on advice that the track was washed out.

Third day, Daniel Philippe came down from Jakarta, and got us past the guard with his excellent language skills. Birded Cerug Gendang (lowland rainforest). Birding highlights: Grey-rumped Treeswift, Ruby-cheeked Sunbird, Javan Sunbird, Greater Racket-tailed Drongo, Chestnut-breasted Malkoha, Greater Green Leafbird, Blue-winged Leafbird, Little Spiderhunter, Grey-cheeked Bulbul, (Javan Lutung). Returned to Jakarta with Daniel

Thursday, January 22, 2009

Potentiation of Mitogenic Response by Extracts of the Swiftlet's (Collocalia) Nest.

The edible bird's nest extract from Collocalia spp. was found to contain a glycoprotein which could potentiate mitogenic response of human peripheral blood monocytes to stimulation with Concanavalin A or Phytohemagglutinin A. The potentiating effect of the extract was most marked at suboptimal mitogenic concentrations of these lectins, decreasing the 50% optimal concentration of Con A and PHA by 6- and 2.5- folds respectively. The potentiating effect was exerted early during the first 10 hours following stimulation with Con A. This potentiation activity was not dialysable, but it was stable to limited digestion with trypsin, alkaline pH and extraction with ether.

by :Biochem Int. 1986 Sep;13(3):521-31.

Saturday, January 17, 2009

The Sun As a Navigation


Walet dalam Jaring.

The 20 cm long Hirundo rustico or barn swallows are recorded as the farthest to wander. They fly across continents from Africa, Asia all the way to Australia. During the journey, they use sun as navigation so that they never get lost. According to Prof Dr Johan Iskandar Msc, barn swallows have magnetic compass in their bodies that functions to find their flying direction. Furthermore, the birds are gifted with special memory―can well remember places they have passed-in fact, they can choose the efficient and safe routes
-----------
Walet dimakan ? disantap?
Mungkin saatnya walet menuju kepunahan, baru harga sarang bakal naik lagi...

Supply The Power 4 U r Bird House



Ini bukti lain kemajuan teknologi di Belanda. Setiap nurseri besar punya pembangkit listrik sendiri. Mereka punya mesin yang bisa mengubah gas-yang dibeli dari perusahaan minyak setempat-menjadi listrik dan panas.

'Kebutuhan listrik sangat besar terutama untuk mengaktifkan lampu tambahan selama musim dingin ketika hari pendek,' kata Gertjan van Staalduinen. Jika mesti membeli, boros biaya. 'Sementara untuk mengoperasikan teknologi robotik kebutuhan listriknya relatif kecil,' sambung Gertjan. Hasil lain pembakaran gas berupa panas dimanfaatkan untuk menghangatkan nurseri pada musim dingin. Sebaliknya, energi juga dibutuhkan untuk mendinginkan greenhouse pada musim panas.

Produksi listrik yang tidak termanfaatkan di nurseri dijual ke pemerintah atau mereka yang membutuhkan. Itu pendapatan sampingan buat si pemilik nurseri. Sementara pemerintah sendiri mengembangkan pembangit listrik bertenaga angin. Turbin angin itu prinsip kerjanya mengambil cara kerja kincir angin tradisional. Listrik dari kincir angin modern itu dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan listrik rumah-rumah penduduk. Di Eropa, Jerman pengguna teknologi kincir angin modern terbesar.(Evy Syariefa)

Thursday, January 15, 2009

Sampel Hasil Panen

Before Processed


Segitiga Plus / Triangle Shape Plus


Sarang Segitiga / Triangle Shape



Sarang Mangkok / Bowl Shape

Wednesday, January 14, 2009

Review of Scientific Research on Edible Bird's Nest

Department of Applied Biology and Chemical Technology, The Hong Kong Polytechnic University

Shun Wan CHAN

Abstract: Edible bird's nest is one of the widely used health foods in Chinese communities. The market generated by it is increasing because it exhibits a lot of beneficial effects to human beings. For its high market value, fake edible bird's nest and misleading promotional description emerged. This article briefly reviews the scientific research on authentication technologies and pharmacological effects of edible bird's nest. It is expected that people's knowledge on edible bird's nest could be enhanced.
摘要:燕窩在華人社會是其中一種非常普及的健康食品。一直以來,人們都相信燕窩有多種不同之效用,因此燕窩 市場不斷在擴展。由於燕窩的價值絕不便宜,故此假燕窩和一些帶有誤導性的推銷描述不斷在市場上出現。本文將簡略 回顧一些有關燕窩辨別真偽的技術與藥理效用之科學研究,希望藉此能加深社會對燕窩的認識。

Background
Swiftlets (collocaliini) are tiny insectivorous birds that are distributed from the Indian Ocean , through Southeast Asia and North Australia to the Pacific[1]. Amongst various species of swiftlets in the genus of Collocalia, only the nests of four species habituating in the Southeast Asian region have commercial value because of human consumption. They are Collocalia fuciphaga, Collocalia germanis, Collocalia maxima and Collocalia unicolor[2]. Collocalia species, average 6.5g in weight, have glossy plumage[1]. Their nests are constructed with salivary glue, a cementing substance, and may incorporate other materials such as vegetation or feathers. It takes about 20 days to finish the nest. The edible bird's nest ( 燕窩 in Chinese) making up with purely salivary glue are much more expensive than those incorporating with other materials (see Figure 1 in p.40).

In Hong Kong and in Chinese societies throughout the world, traditional Chinese medicine (TCM) is commonly used to treat diseases and enhance health. It is believed that TCM herbs have wide-ranging effects for enhancing health, lowering risk of diseases and promoting life span [3,4,5]. Being one of the TCMs, edible bird's nest is believed to have health enhancing effects such as anti-ageing, growth promoting and immunoenhancing properties. In fact, the medicinal use of edible bird's nest can be traced back to 17th century[6]. However, edible bird's nest is different from most of the TCMs. It is not only a medicine to make people healthy but also a pleasant food. Traditionally, it is double boiled with rocky sugar to make a delicacy known as "bird's nest soup".

Although the size of Collocalia is small, the market generated by it is tremendous. The estimated market of edible bird's nest in 2004 is worth about HK$ 3 billions in Hong Kong . The local market is the world's largest consumer of edible bird's nest[2,7]. The annual percentage increase of the local market is in doubledigit[7]. It may be due to the fact that Hong Kong people are more and more concerned about their health and the status of TCM has risen after a series of government policies on TCM. Moreover, a dual nature of edible bird's nest, that could be treated as medicine or/and food, may play a role. In the past, people could only buy dried edible bird's nests. For the advancement in food technology, large variety of edible bird's nest related products emerge to the market. They are readily to serve products. No cooking process is required. Amongst those new products, most of them are still in the traditional form as bird's nest soup, such as instant bird's nest in different concentrations. Some instant bird's nest may also supplement with other TCMs. Apart from the traditional form, there is a trend of using edible bird's nest extract as one of the chief ingredients of the products. These products focus mainly on the medicinal use of edible bird's nest. However, some of them may exaggerate the therapeutic use of edible bird's nest. For the limited supply and high price of edible bird's nest, it is not uncommon to hear reports of fake edible bird's nest in the market. The imitation substitute commonly used is the edible plant-exude, gum karaya or sterculia[8]. Recently, there are reports of fake edible bird's nest made from fishes' skin, mushroom or algae in China [9]. Therefore, it is a great concern on authenticating the genuineness of edible bird's nest. In this review, the author will briefly summarize some advanced technologies in authenticating edible bird's nest. The medicinal benefits of edible bird's nest with contemporary scientific evidence will also be given.

Authenticity of Edible Bird's Nest
The first comprehensive report on authentication of edible bird's nest can be traced back to the early 1990s. Sam et al., (1991) demonstrated the possibility to use scanning electron microscopy, energy dispersive X-ray microanalysis, flame atomic emission spectroscopy, inductively coupled plasma-atomic emission spectroscopy, ultraviolet-visible spectroscopy and other physico-chemical techniques to ascertain the authenticity of edible bird's nest[8]. Since they only made a comparison with some imitation bird's nest with substances from plant origins, it limited the generalizing ability of the techniques to other imitation materials. In addition, they relied on sophisticated equipment. It is hard for commercial testing laboratories to carry out. Recently, a research team in China has developed a simple but accurate and reliable spectrophotometry method to determine edible bird's nest content[10]. It could also be used to differentiate genuine edible bird's nest with saliva, pig's skin and Tremella fucifomis[10]. The method is based on the reaction between N-acetylneuramic acid and ninhydrin in acid solution. The method evaluates the internal content of N-acetylneuramic acid, a nine-carbon sugars, which is one of the major components in edible bird's nest.

Nutritional Content and Medicinal Use
Edible bird's nest contains mainly carbohydrates, amino acids and mineral salts. The major ingredients of edible bird's nest are glycoproteins[11]. Amongst the carbohydrates in edible bird's nest, sialic acid (9%) is the major one. It was found that exogenous source of sialic acid may contribute to neurological and intellectual advantages in infants[12]. However, the nutritional and biological mechanisms of sialic acid in human body are still under investigation. The other major carbohydrates include 7.2% galactosamine, 5.3% glucosamine, 16.9% galactose and 0.7% fucose[11].

Amino acids and mineral salts are also important components in edible bird's nest. Three non-essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, praline) and two essential amino acids (threonine and valine) can be found[11]. They could facilitate normal body functions such as repairing and immunity. Edible bird's nest is rich in mineral salts. It contains high content of sodium and calcium. It is because the source of edible bird's nest is derived from saliva Collocalia inhabiting mainly in limestone caves. In addition, low levels of magnesium, zinc, manganese and iron are also detected in edible bird's nest[8].

In spite of the long history of using edible bird's nest for medicinal purposes, there are not many scientific researches related to the therapeutic use of it in literature. The first scientific evidence was given by Ng et al. (1986) in Hong Kong. Edible bird's nest aqueous extract was found to potentiate mitogenic response of human peripheral blood monocytes to stimulation with proliferative agents, Concanavalin A and Phytohemagglutinin A[13]. It suggested that edible bird's nest might possess immunoenhancing effect by aiding cell division of immune cells.
One year later, other scientific evidence was published by Kong et al. They demonstrated an epidermal growth factor (EGF)-like activity in aqueous extract of edible bird's nest that stimulated the DNA synthesis in 3T3 fibroblast in a dose dependent manner in vitro[6]. EGF is a 6,000 Da polypeptide hormone produced by glands of the gastrointestinal tract, namely the salivary and Brunner's glands. It appears to play a crucial role in major normal cellular processes such as proliferation, differentiation and development[14]. It may offer a rationale for the medicinal use of edible bird's nest in ageing resistance. Since the receptor for EGF is highly expressed in a number of solid tumors, including breast, head-and-neck, non-small-cell lung, renal, ovarian and colon cancer[15], people are worried about a possibility to induce tumor progression and to resist chemotherapy/radiation treatment in tumor cells; in consequence, suggest that cancer patients should avoid edible bird's nest. In fact, there is no evidence supporting this suggestion. Currently we have evaluated the effects of aqueous extract of edible bird's nest on the viability on two human cancer cell lines, human breast cancer MCF-7 (ATCC HTB-22) and human liver cancer HepG2 (ATCC HB-8065). There was no observable effect on cell viability when comparing with the control group (unpublished data).

In 1994, a research team in China, evaluated the pharmacological effects of edible bird's nest and pearl powder containing formulation. The formulation was demonstrated to have immunoenhancing effects by elevating DNA synthesis of T-lymphacytes and circulating immunoglobulin M content in mice. In addition, the formulation also showed ageing retardation by increasing the level of superoxide dimutase[16]. However, the study did not explore whether the effects came from either edible bird's nest, pearl powder or both.

Further Studies
Edible bird's nest has been used for several hundred years. Its usage is based mainly on historical, anecdotal and observational reports of its benefit. Scientific evidence for its efficacy is still limited. The putative health benefits such as resisting ageing and improving immunity of edible bird's nest may be linked, at least in part, to EGF-like activity and mitogenic factor. However, there may be other mechanisms involved. In addition, there may be additive, synergistic or antagonistic effects between different components of edible bird's nest. Work is needed to establish health-related effects of edible bird's nest, for example, through assessing biomarker response, isolating and identifying the active components and investigating their possible interaction. In Hong Kong, many people take edible bird's nest regularly. It is worth establishing epidemiological study to measure relationship of consistent use of edible bird's nest and its putative beneficial effects in human beings. For the large market of edible bird's nest, developing a systematic method to identify the sources of edible bird's nest and check the authenticity of its sample is, undoubtedly, indispensable.