Searching :

Custom Search

Sunday, November 30, 2008

Duet Mrutu dan Pelet Dongkrak Produksi


Ratusan walet beterbangan di depan rumah berukuran 8 m x 12 m di Jakarta Barat. Mereka saling beradu cepat menyambar pakan yang disemburkan sebuah blower bergaris tengah 5 m. Memang ada sesuatu yang istimewa di sana: pakan kombinasi mrutu dan pelet.
Pemandangan fenomenal itu sudah berlangsung sejak 6 bulan lalu. Padahal sang empunya rumah walet menyebut bangunannya tak lagi menjanjikan. Dibeli awal 1998 produksi liurnya saat itu 18 kg/panen. Setelah itu produksi berangsur-angsur menukik sampai 3,5 kg. Namun, 6 bulan lalu produksi meningkat lagi, 6 kg/panen. 'Akhir September 2008 diperkirakan dipanen 9 kg,' kata Anthonius, sang empunya.

Anthonius menggunakan alternatif pakan mrutu untuk memancing walet datang atas saran praktikus walet di Mojokerto, Jawa Timur. 'Dia (konsultan, red) bilang agar dicoba memakai serangga yang disukai walet di alam,' ujar Anthon. Mrutu dipilih karena selain mudah dibudidayakan, kelompok diptera itu sangat disukai Collocalia fuchipaga.

Kombinasi pakan
Selama 6 bulan menggunakan mrutu, populasi walet di rumah Anthon mulai meningkat. Awalnya ada sekitar 1.000 ekor, tapi kini mencapai lebih dari 2.000 ekor. Sepanjang hari tak kurang 200 walet bermain di area bangunan itu. 'Paling tidak sekarang ada 800 sarang utuh dan 300 sarang setengah jadi,' ujar kontraktor itu. Jumlah itu melebihi target pertambahan 20-30% sarang per 2 bulan yang diperkirakan sang konsultan.
Dari pengalaman Anthon kombinasi mrutu dan pelet mujarab mendongkrak populasi walet. Setiap hari 4,5 kg pelet dan 10-20 kg media budidaya mrutu per bulan disediakan Anthon. Sebelum dikombinasikan dengan pelet, Anton menyediakan 50-60 kg media budidaya mrutu per bulan.
Pelet yang diberikan berbeda dengan pelet ikan atau burung kicauan. Pelet itu berwarna hitam dengan bentuk bulat berdiameter kurang dari 5 mm. Sepintas mirip serangga. Pelet temuan Agung Santoso, di Mojokerto, Jawa Timur, itu berbahan baku kacang kedelai dan tepung terigu. Tambahannya mineral dan asam amino. Kombinasi bahan baku itu menghasilkan kadar protein pelet 55,58%.

Kadar protein sebesar itu cukup untuk walet bertelur dan bersarang. Apalagi ditambah mrutu yang kadar proteinnya 59,74%. Jumlah kalori yang dihasilkan kombinasi mrutu dan pelet itu mencapai 3.600 kalori. Itu artinya 90% dari kebutuhan walet sebesar 4.100 kalori/hari sudah terpenuhi. 'Pemberian pakan dengan nutrisi tinggi dapat memacu produksi sarang sampai 2 kali lebih cepat. Bila teknik itu diterapkan pada budidaya konvensional, sarang dapat dipanen 5-6 kali/tahun,' kata Agung .
Agung menuturkan walet dewasa membutuhkan 0,5-1 g pelet per hari. Jika diternak intensif-dikurung-perlu 2,5 g/ekor/hari. Untuk piyik cukup diberi 0,2-0,3 g/ekor/hari. Pelet harus diberikan dalam keadaan lembap supaya terlihat seperti serangga hidup.


Berdasarkan pengamatan Anthon setelah diberi pelet, walet tampak lebih gemuk. Rentang sayapnya yang semula 26 cm, menjadi 30 cm. Bulu-bulu panjang yang kerap rontok saat pergantian musim dan menempel di sarang semakin sedikit. Pun, angka kematian piyik yang sebelumnya mencapai 60%, turun hingga 5%. 'Kini rumah walet tak hanya diisi walet dewasa, tapi juga banyak walet muda dan piyik,' kata Anthon. Yang menggembirakan, sarang lebih putih dan tebal.

Pakai blower
Mrutu yang sudah dibekukan (mati) dan pelet diberikan dengan cara dilontarkan menggunakan blower yang dipasang di depan pintu keluar-masuk. Blower dinyalakan selama 12 jam sejak pukul 05.00 WIB sampai semua walet masuk ke rumah. Selepas pukul 10.00 WIB tambahkan pelet selang 1 jam.

Jangan lupa semprotkan air berkabut di sekitar areal pakan untuk menjaga kelembapan dan menambah gairah si liur emas. Biasanya sekitar 3% pakan jatuh ke tanah. Pakan yang berjatuhan itu tidak boleh dipakai lagi karena dikhawatirkan tercemar sehingga dapat menimbulkan penyakit.
Menyediakan pakan buatan memang lazim dilakukan di rumah-rumah walet di perkotaan untuk meningkatkan populasi dan mempertahankan produksi sarang. 'Kepergian burung sulit dihindari bila hanya mengandalkan pakan dari alam. Begitu juga bila sepenuhnya bergantung pada pakan buatan,' kata Ir Lazuardy Noormansyah, konsultan walet di Jakarta Barat. Pasalnya, walet tetap butuh berbagai macam serangga untuk kecukupan nutrisi dan pakan buatan agar ketersediaan pakan terjamin.

Lazuardy pun mengingatkan agar para pemilik rumah walet mempertimbangkan risiko akibat burung-burung 'tetangga' yang menumpang makan. Maksudnya supaya tidak terjadi pemborosan. 'Sejam dua jam, dia (walet tetangga, red) datang bermain dan menyambar pakan buatan, lalu menghilang,' katanya. Agar efektif, pemilik biro konsultan Multi Walet itu menyarankan blower dinyalakan hanya pada waktu walet akan pergi dan pulang mencari pakan.
Hal senada diamini Viany Cin Hiong. Menurut praktikus walet di Jakarta itu meski ada walet tetangga singgah karena tertarik pelet, tapi bukan berarti akan bersarang. Walet yang datang belum tentu tertarik menetap bila kondisi mikro dalam rumah walet tidak nyaman. Sebab itu pula selain memberi mrutu dan pelet, Anthon melakukan renovasi tata ruang rumah walet agar nyaman ditinggali sang penghasil liur emas. (Andretha Helmina)
Sumber :Trubuson

Surga Walet di Sulawesi Utara

Sepuluh tahun lalu jumlah rumah walet di Sulawesi Utara dapat dihitung jari. Lokasinya pun terbatas di pinggir pantai dan pulau-pulau dekat gua. Kini rumah si liur emas Collocalia fuciphaga itu hingga ke Manado, ibukota Sulawesi Utara. 'Di sana bunyi tweeter pemikat walet bersaing dengan suara speaker dari angkutan umum,' ujar Hary K Nugroho, praktikus walet di Jakarta Utara.


Saat pertama kali melacak walet di Manado pada 1998, Hary lebih banyak menjumpai sriti. Sriti-sriti itu keluar-masuk dari puluhan rumah yang tengah disulap menjadi bangunan walet. 'Rumah itu milik penduduk setempat yang dimasuki sriti,' kata pemilik Eka Walet Center itu.


Secara geografis kondisi Manado yang dibelah garis Wallacea itu mirip kondisi awal sentra walet di Pulau Mindanao Selatan di Filipina. Sebelum menjadi sentra, belasan rumah penduduk dimasuki sriti. Lalu telur-telur sriti diganti telur walet, maka berkembanglah populasi walet di sana, disusul berdirinya rumah-rumah walet. Menurut Jimmy di Distrik Samal, Mindanao, yang rumahnya sudah beralih fungsi jadi rumah sriti, materi sarang sama dengan di Manado. Sarang berwarna hijau karena mengandung rumput laut.

Sarang gua
Untuk menemukan sentra walet di Sulawesi Utara tidak mudah. Jejak si liur emas baru terendus bila sudah sampai di Malalayang, sebuah daerah pantai berjarak 1 jam berkendaraan dari kota Manado. Di daerah itu banyak tumbuh pohon kelapa. Di sanalah walet dan sriti tinggal. Sebetulnya sentra walet di Sulawesi Utara tidak hanya di Malalayang, tapi juga di pulau-pulau lain seperti Pulau Sangihe, Pulau Kalama, dan Pulau Siau. Kondisi lingkungan di sentra-sentra itu mirip Malalayang yang didominasi pohon kelapa. Yang berbeda di ketiga tempat itu banyak terdapat gua-gua kecil.


Namun, lantaran terpaku pada gua, pengembangan rumah walet tersendat. Kini di Pulau Sangihe, Kalama, dan Siau terdapat sekitar 50 rumah walet. Padahal, di ketiga pulau itu ada rumah walet sejak 1997. 'Para pengusaha rumah walet yang umumnya dari Jawa kurang melirik Sulawesi Utara karena kendala pengawasan,' ujar Hary.


Perkembangan rumah walet mulai terlihat pada 2000. Sejak itu banyak investor dari Manado, Makassar, dan Surabaya, membangun rumah walet di daerah pesisir hingga tengah kota. Pada April 2008, Dr Boedi Mranata menghitung setidaknya terdapat 50 rumah walet di Malalayang. Ukurannya beragam dengan ketinggian rata-rata 4 lantai.


Salah satu rumah walet seluas kurang lebih 1.000 m2 terlihat tidak kalah megah dibandingkan rumah walet di sentra-sentra di Pulau Jawa. 'Rumah itu kemungkinan telah menghasilkan ratusan kilogram sarang walet,' kata praktikus walet di Jakarta Selatan itu.

Curah hujan tinggi
Kini sentra walet di Sulawesi Utara semakin luas. Lihatlah, sepanjang Manado-Bitung-berjarak ratusan kilometer-rumah-rumah walet bermunculan bagai jamur di musim hujan. Hary memperkirakan jumlahnya sekitar 100 rumah. 'Suasana sentra walet sangat kental. Sampai-sampai suara tweeter rumah walet menyaingi dentuman musik dari angkutan umum,' tutur Hary. Meski begitu, rupanya tak semua rumah berisi walet. Pengamatan Boedi menunjukkan hanya 10% rumah yang sudah memproduksi sarang. Sisanya masih kosong. Boedi dan Hary sepakat hal itu disebabkan desain bangunan yang salah, antara lain lubang udara sedikit dan peletakan tweeter tidak tepat.


Sejatinya agroklimat di Sulawesi Utara, khususnya Manado, cocok untuk walet. Suhu di kota Nyiur Melambai itu berkisar 28-30oC dan kelembapan 80-90%. Curah hujan tinggi, sebesar 3.187 mm/tahun (Manado) dengan panjang musim hujan 11 bulan sehingga lebih basah dibanding Jawa Timur, sentra walet di Jawa. Ketersediaan pakan melimpah karena Manado dikelilingi perkebunan kelapa, sawah, dan hutan.


Menurut Boedi, Sulawesi Utara sangat ideal menjadi sentra walet. Keberhasilan putar telur di Manado sangat tinggi, hampir 50%. Padahal di Jawa atau Sumatera hanya 20%. 'Bisa mencapai 50%, angka yang bagus,' kata alumnus Biologi di Universiteit Hamburg Jerman itu. Artinya bila 10.000 telur sriti ditukar dengan telur walet, bisa diperoleh 5.000 walet. Tingginya keberhasilan itu karena tingkat persaingan memperebutkan pakan rendah.


Telur-telur walet untuk putar telur itu sebagain besar didatangkan dari Jawa, Lampung, dan Bali. Permintaan telur walet di Sulawesi Utara dari tahun ke tahun terus meningkat. Sebagai gambaran Hary rutin mengirim 10.000-15.000 telur/tahun untuk sebuah rumah walet. 'Pembelinya para pemilik rumah sriti maupun walet. Mereka berhasil melakukan putar telur dengan bukti sudah memproduksi sarang banci,' kata Hary yang memiliki lebih dari 10 langganan pembeli di Manado itu. Sarang banci adalah sarang sriti yang dilapisi sarang walet yang terjadi seiring pergantian penghuni dari sriti menjadi walet. (Lastioro Anmi Tambunan)

Sumber :Trubuson

Tuesday, November 25, 2008

Recommended Book [ The Encyclopedia of Bird ]

The Encyclopedia of Bird



Editorial Reviews
From Library JournalLike Bruce Campbell and Elizabeth Lack's A Dictionary of Birds ( LJ 7/85), The Encyclopedia of Birds is superbly written, edited, and illustrated. Many of the same authors have written on the same subjects in both books. An important difference is that the Dictionary is arranged alphabetically, while the Encyclopedia is organized by taxonomic order.

The Encyclopedia contains an index, but due to the sometimes confusing classification of birds, its format may still make it difficult to use. In addition, the Dictionary is more detailed and extensive, and includes references at the end of long definitions. But the Encyclopedia 's large color photographs, which are often strikingly beautiful, will be useful to both amateurs and professionals. While the Dictionary is a necessity for most academic libraries, both books are highly recommended to public libraries with large reference collections. Nicholas J. Volkman, Point Reyes Bird Observatory, Stinson Beach, Cal.
Copyright 1985 Reed Business Information, Inc. Product DescriptionThis spectacular catalog features 180 families of birds.

Monday, November 24, 2008

DM


Sunday, November 23, 2008

Because of Light, Swallow Nesting



The nest production of a swallow building which measures 8 m x 20 m of 4 stories high owned by Halim in Karawang, West Java, had been steady until 2002.
The production was so hard to move swiftly from 200 nests/ harvesting. However, now the nest production of Collocalia fuciphaga has risen double in 3 years.
It happened ever since each void is illumined with a lamp. According to Ir Lazuardi Normansah, the light is needed to guide swallows to every floor in order to look for a comfortable location.
The utilization of light is effective especially on new house of which the light cannot penetrate to the basement. But the light is intended merely to make the room gloomy.
Therefore, it only requires a 5 watt lamp which is placed into a plywood box of 10 cm x 10 cm x 15 cm.
The bottom part of the box is perforated as big as a coin of Rp500. (Lastioro Anmi Tambunan)

Friday, November 21, 2008

Producing Abundant Mrutu


The key success of breeding swiftlet is by providing natural diet. It is because a swallow needs 4 g of diet in form of insect everyday. If the harvesting target is 10 kg of nest, therefore a minimum diet as much as 14 kg/ day should be available for 2.500 productive swiftlets and 1.000 unproductive swiftlets.
It can be realized by breeding mrutu — a kind of insect in diphtera family— Agung, a swiftlet breeder in Mojokerto, East Java. '100 kg in one day is also possible, depending on raw material amount', Agung said. Agung only provides soybean flour and rejected noddles that are mixed becoming like porridge. Then, add mrutu seedlings. Certainly, abundant mrutu can be yielded everyday. (Dian Adijaya Susanto)


by Trubuson

Be Wise in Choosing Swiftlet House



The trend of swiftlet house real estate development in the Island of Java has been lustrous since 1999. Nevertheless as time goes by, no swiftlet occupy those real estate so that many proprietors sold them. The condition is different outside Java. For example is in West Kalimantan. For the last 3 years, there have been many swiftlet houses along the road from Pontianak to Ketapang. Those houses in a very short time are directly occupied by swiftlets, saliva producers. (A. Arie Raharjo)


By trubuson