Searching :

Custom Search

Friday, May 8, 2009

Buku Pintar Budi Daya dan Bisnis Walet

Penulis : Redaksi AgroMedia
Ukuran : 17.5 x 24 cm
Tebal : vi + 168 hlm.
Penerbit : AgroMedia Pustaka
ISBN : 979-006-232-x
Harga : Rp 45.000,-

Bisnis sarang walet merupakan bisnis yang memerlukan modal tidak sedikit. Namun, jika usaha ini berjalan lancar, keuntungan besar bakal menanti Anda. Sebagai gambaran, jika harga satu kilogram sarang walet enam juta rupiah, sedangkan biaya operasionalnya hingga panen hanya 1--2 juta rupiah, berarti Anda sudah mendapatkan untung 4--5 juta rupiah. Itu baru satu kilogram. Jika pembudidayaan dilakukan dengan tepat, kemungkinan besar hasil panen yang diperoleh mencapai 25--30 kilogram. Artinya, berapa angka rupiah yang siap Anda kantongi?

Sayangnya, untuk mendapatkan angka tersebut bukan perkara mudah. Fakta di lapangan menunjukkan, tidak sedikit pengusaha sarang walet yang "gulung tikar" akibat gedung walet yang dimilikinya kosong. Kesalahan teknis konstruksi gedung, pemilihan lokasi yang tidak tepat, kegagalan memancing walet dengan suara tiruan, dan keliru menciptakan habitat mikro di dalam gedung walet merupakan pemicu gagalnya usaha ini.Buku ini sengaja dihadirkan untuk menjawab semua hal tersebut. Informasi yang diperoleh berasal dari sejumlah pakar dan pembudidaya walet. Dengan harapan, buku ini bisa dijadikan pedoman para pengusaha walet dan Anda yang ingin memulai usaha ini. Selamat berinvestasi!

Thursday, May 7, 2009

Bisnis Air Liur Walet di Serpong

BURUNG berwarna hitam sebesar burung gelatik itu masuk dan keluar gedung-gedung tinggi, melalui lubang-lubang pipa pralon berdiameter sekitar 15 sentimeter. Mereka keluar untuk mencari makan berupa serangga terbang yang dimakan sambil terbang pula.

Itulah pemandangan kawasan RT 04 RW 05 Desa Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang. Lokasi kompleks gedung tinggi tanpa jendela tersebut di kawasan "Perancis" (Perempatan Cisauk), Jalan Raya Serpong, atau sekitar 15 kilometer ke arah selatan gerbang tol Tangerang. Kompleks gedung di sebelah barat dan utara berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane. Dari kejauhan, kompleks gedung tinggi di kawasan "Perancis" tidak ubahnya seperti kompleks rumah susun. Bedanya itulah rumah walet (Collocalia vestita).

"Dulunya RT 04 RW 05 ini permukiman penduduk. Rumah-rumah warga di sini dibeli orang berduit, sedangkan penghuni lama pindah ke tempat lain. Harga tanah di sini mahal seperti di Jakarta," ujar Dahri (25), salah seorang pedagang rokok di kawasan itu.
Rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya segera dirobohkan oleh pemiliknya yang baru. Di bekas-bekas rumah itu pun dibangun gedung-gedung bertingkat sampai sekarang.

"Sebenarnya, belum lama kawasan ini berubah menjadi kompleks sarang burung walet. Gedung-gedung bertingkat ini banyak dibangun mulai sekitar lima tahun lalu. Gedung sarang burung walet yang lama tidak setinggi sekarang ini. Jumlahnya pun sedikit," kata Vovo (36), seorang spesialis pembuatan pintu besi gedung sarang burung walet, yang tengah mengerjakan pesanan dari salah seorang pemilik gedung.

Kini, ada sekitar 30 gedung pencakar langit di kawasan "Perancis", sebagian besar dibangun setelah nilai rupiah merosot sejak tiga tahun lalu. Banyak orang berduit yakin gedung-gedung tersebut disukai unggas itu. Harga satu kilogram sarang burung walet sebesar Rp 17 juta. Sarang itu terbuat dari air liurnya. Mahal, karena dianggap berkhasiat sebagai obat.

Konon, kawasan itu sudah dihuni walet sejak seabad lalu. Saat itu, walet menghuni rumah seorang pembesar Belanda. Ketika dia meninggal, rumahnya tidak terurus sampai kemudian ambruk. Burung walet pun berpencar dan pindah ke gedung dan kawasan lain.

Tidak semua gedung segera dihuni walet. Pik Yan (60), warga Desa Sampora, kini memiliki dua gedung berlantai tiga dan lima di lokasi itu. Gedung pertama berlantai tiga, yang selesai dibangun dua tahun lalu, sampai sekarang ternyata belum dihuni walet.

Meski demikian, minat untuk membangun gedung baru tidak surut. Dalam tiga tahun ini malah terjadi booming pembangunan gedung-gedung seperti itu di kawasan Serpong. Bentuk bangunannya pun bermacam-macam, seperti gedung perkantoran atau apartemen.

Di Desa Serpong di selatan "Perancis", beberapa gedung sarang burung walet juga dibangun di tepi Sungai Cisadane. Di Desa Kademangan, Serpong, demikian juga.
Kedatangan burung walet ke sembarang tempat, dan kadang tidak dapat diduga manusia, mendorong bermunculannya gedung-gedung sejenis di beberapa kompleks perumahan di Kecamatan Serpong. Salah satunya terdapat di Perumahan Ciater Permai, Desa Ciater.
Di Blok D-4 perumahan itu, saat ini mulai dibangun gedung burung walet oleh seorang pengusaha, dengan terlebih dahulu merobohkan empat rumah warga yang dibelinya. Penghuni lain protes.
"Masak, peternakan dibangun di tengah-tengah permukiman," kata Denny Kaban, salah seorang warga Blok D-4 Ciater Permai.
Gedung burung walet di Ciater Permai marak menyusul masuknya burung itu ke dua rumah di Blok D-4 sekitar 10 tahun lalu. Pengusaha yang hendak mengembangkan usahanya di perumahan Ciater Permai lantas membeli kedua rumah, yang ternyata disukai burung walet.

Menurut seorang pemilik sarang burung walet lainnya, Mulyadi, orang-orang berduit semakin tertarik bermain di dalam bisnis sarang burung walet terjadi setelah melambungnya nilai dollar.
"Sarang burung walet umumnya untuk diekspor, seperti ke Hongkong dan Cina. Jangan lupa saat ini di Cina banyak OKB (orang kaya baru) yang menyukai sarang burung walet," kata Mulyadi.
Ia membangun gedung berlantai tiga dengan lantai kayu di tanah miliknya di Desa Kademangan, Serpong, pada tahun 1999. Baru sekitar tiga bulan gedung walet berukuran 9 x 15 meter yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 90 juta, datang burung sriti dan selanjutnya diikuti burung idaman, walet. Warga lain ikut membangun.

Babak selanjutnya, ia terima order pembangunan gedung di sejumlah lokasi. Kepercayaan orang semakin kuat karena dia mempunyai cara mendatangkan burung walet, dengan memutar CD (compact disc) berisi rekaman suara kicau burung itu.
Gedung pertama yang dibangun Mulyadi lebih merupakan rumah contoh. Gara-gara sering didatangi orang yang melihat-lihat, burung walet bubar dari tempat itu. Baru beberapa bulan ini gedung ditutup untuk umum sehingga walet kembali datang. Katanya, "Saya belum pernah memanen sarang burung walet dari gedung itu."

Kapan masa panen sarang burung walet itu, katanya, sulit ditentukan. Pemilik yang kuat keuangannya menunggu sampai dua tahun, baru memanennya dengan hasil yang memuaskan.
Dari lantai gedung seluas satu meter persegi dapat dipanen tiga ons sarang burung walet, berasal dari 70 ekor walet. Bayangkan, berapa hasil yang diperoleh jika gedung dihuni oleh 7.000 ekor?
Modal yang sampai ratusan juta rupiah membuat para warga setempat tak mampu ikut berbisnis.

"Uang dari mana saya bisa membangun sarang burung walet," kata Ny Oman (60), warga RT 04 RW 05 Cilenggang, yang rumahnya berada di antara dua gedung walet.
Warga kebanyakan hanya berharap, burung walet datang ke rumah tinggal mereka, bertelur, dan bersarang dengan air liurnya yang berharga. Ada baiknya warga membangun rumahnya tinggi-tinggi. Siapa tahu walet datang sehingga uang pun datang. Daripada menelan air liur sendiri melihat kemakmuran tersebut. (Agus Mulyadi)

Sumber :Kompas

Wednesday, May 6, 2009

Cisadane Dulu n Kini

Lima abad silam di sepanjang bantaran Sungai Cisadane dipenuhi bangunan langgam China. Kini di pinggiran sungai sepanjang 140 km itu berserak rumah-rumah walet. Tidak ada keterangan pasti kapan bangunan-bangunan walet itu mengubah wajah bantaran Sungai Cisadane. Namun, berdasarkan penuturan Sai Hu Iy, pengusaha walet di Serpong, Tangerang, pada 1990 mulai banyak terlihat rumah walet di hilir sungai seperti di Serpong dan Cisauk.
Kedua tempat yang masuk dalam wilayah Tangerang, Provinsi Banten, itu memiliki agroklimat sesuai habitat walet: hangat dan lembap. Berdasarkan data dari para pedagang pengumpul setempat, diperkirakan pada 1997 produksi sarang walet di Tangerang mencapai 240 kg/tahun.

Sejalan dengan pemanasan global, suhu lingkungan di hulu Sungai Cisadane pun terkena imbas. Daerah-daerah yang semula bersuhu dingin-siang hari kurang dari 23oC-menjadi 25-26oC. 'Walet menghendaki suhu tidak terlalu dingin. Ia nyaman di kisaran 28-29oC,' kata Mulyadi Latief, pemilik realestate walet di Cisauk, Tangerang. Wajar kalau belakangan di daerah hulu sungai banyak berdiri rumah walet. Di Desa Cibeber, Leuwiliang, Bogor, misalnya, terdapat minimal 10 rumah walet berukuran besar. Areal sawah yang membentang luas dan vegetasi tanaman menghijau di perbukitan sangat mendukung perkembangan populasi walet.

Bergeser ke dingin
Sai Hu mengamini, di daerah aliran Sungai Cisadane habitat walet mulai bergeser ke hulu. Ia mengalami sendiri. 'Pada 2002 Desa Cibeber masih dingin, makanya tidak ada walet. Yang masuk pertama kali ke dalam rumah adalah seriti,' kata Sai Hu.

Di rumah berukuran 20 m x 9 m setinggi 3 lantai ia harus melakukan putar telur-telur seriti diganti telur walet-untuk mendapatkan populasi walet. Selama 3 tahun Sai Hu melakukan putar telur, walau hasilnya jeblok. Setiap piyik walet yang ditetaskan mati sebelum berumur 1 minggu. 'Semuanya mati,' imbuhnya.

Titik terang keberhasilan baru terlihat kala biang kerok kematian piyik diketahui. 'Kelembapan di dalam gedung terlalu rendah, kurang dari 60%' katanya. Penyebabnya angin yang masuk ke dalam ruangan terlalu kencang. Maklum saja, lubang keluar-masuk burung dibuat sangat lebar, 1 m x 1 m. Setelah ditutup separuh, menjadi 60 cm x 80 cm, barulah tiupan angin agak mengendur. Terbukti kelembapan pun meningkat sampai 75%. Apalagi Sai Hu melengkapi ruangan dengan pengabut yang membuat kelembapan ruangan di atas 80%.

Hasilnya? Sejak 2005 suami Yetti Sumarjatty itu bisa mendengar piyik-piyik walet bercericit hingga belajar terbang dan membentuk koloni baru di sudut-sudut lagur. Menurut Sai Hu, dari 200 butir yang ditetaskan hampir semuanya berhasil menetas dan tumbuh hingga besar. 'Soal persentase jumlah walet yang kembali dan tetap menjadi penghuni setia rumah, saya tidak tahu secara pasti. Tapi yang jelas populasi walet terus bertambah,' tuturnya. Produksi sarang pun melambung. Setiap panen, 3-4 bulan, Sai Hu memetik minimal 10 kg sarang.

Selain Cibeber, daerah aliran Sungai Cisadane yang menjadi sentra walet baru adalah Desa Cibodas, Leuwiliang, Bogor. Di sanalah rumah walet Mulyadi seluas 300 m2 setinggi 3 lantai dibangun. Sama seperti Sai Hu, ia merintis kerajaan walet dengan putar telur.

Dalam 3 tahun, terhitung 2003, usahanya berhasil. 'Populasi cepat banyak. Mungkin karena selain dari putar telur, banyak walet gua yang kebandang masuk,' ujar Mulyadi. Sekitar 15 km dari lokasi terdapat 3 gua walet yang terus terusik karena pengelolaan serampangan.

Terbuka
Berdasarkan survei kecil-kecilan yang dilakukan Mulyadi, kini terdapat sekitar 50 rumah walet berbagai ukuran, mulai 6 m x 8 m sampai 20 m x 25 m setinggi 2-4 lantai di sepanjang Sungai Cisadane. Tingkat produksi setiap rumah berbeda-beda. 'Rumah kecil bukan berarti produksi sedikit. Sebaliknya rumah besar, tidak menjamin produksi tinggi. Itu tergantung teknik yang diterapkan,' lanjut Mulyadi. Ia menyebut sebuah rumah walet berukuran 8 m x 12 m setinggi 2 lantai di bilangan Cisauk menghasilkan 20 kg sarang setiap panen.
Teknologi dibutuhkan karena ada persaingan sesama rumah walet. Misal bangunan rumah walet minimal 2 tingkat, tidak ada yang 1 lantai. Kelengkapan suara pemanggil walet dicari yang paling canggih. Panen diatur 2 kali per tahun agar populasi cepat meningkat dan tidak menyebabkan walet stres yang berujung pada minggat dari rumah.

Soal pakan tidak perlu khawatir. Di daerah aliran Sungai Cisadane ketersediaan pakan masih melimpah. Selain perbukitan dan sawah yang luas, semak, rawa-rawa, serta kubangan-kubangan air bekas penggalian pasir menjadi sumber perburuan pakan. Yang menjadi masalah adalah kerusakan lingkungan di hilir yang membuat produktivitas sarang sejak 5 tahun terakhir diklaim beberapa peternak menurun hingga 60%.

Berdasarkan pengamatan Ir Lazuardi, konsultan walet di Jakarta Barat, ketersediaan pakan walet di Jawa Barat sejak 2000 secara umum terus menurun. Produktivitas sarang di berbagai sentra terkena imbasnya. Toh bukan berarti usaha pengembangan walet harus terhenti.

Kini sudah waktunya pengusaha walet mulai diterapkan sistem pemeliharaan intensif seperti beternak ayam. Atau menyediakan pakan tambahan buatan di ruang walet. Jadi, peluang untuk mengembangkan rumah walet di sepanjang aliran Sungai Cisadane tetap terbuka. (Lastioro Anmi Tambunan)

by : Trubuson

Friday, May 1, 2009

Are Microwaves Killing The Insects, Frogs, And Birds? And Are We Next?

Are Microwaves Killing The Insects, Frogs, And Birds? And Are We Next?
By Paul Raymond Doyon 3-20-8

I live in Kunming City, Yunnan Province, The People's Republic of China. Yunnan Province is one of the cleanest and most pristine areas of China ­ and Kunming City is also called the City of Eternal Spring since the weather here is quite pleasant throughout the year. However, it might as well be called "The City of The Silent Spring."

It is eerily odd but this city is strangely devoid of bugs ­ I see virtually no insects in this city ­ except for the occasional mosquito or the occasional cockroach. No ants, no spiders, no butterflies, no bees, no flies, no caterpillars, and so on down the line. I also see virtually no birds ­ I look up in the sky and there are no birds traversing it. When I go to bed at night I do not hear the sounds of crickets; and when I wake up in the morning I do not hear the chirping sound of birds.

And from what I can tell by reading media reports on the Internet, this phenomena of the sudden disappearance of life forms (insects, amphibians, fish, bats, birds, etc.) is happening all over the world. Just last year, the fact that there is (and has been) a worldwide die-off of bees was finally taken up by the media. The frogs have been dying for years ­ (although originally they were "mysteriously" showing up with deformities.) Now, just at the beginning of January 2008 a Swedish journalist sent me a report by the Canadian Broadcasting Company (CBC) about the disappearance of tens of millions of birds across North America ­ HYPERLINK http://rawstory.com/rawreplay/?p=372

What the heck is going on? And when are we going to do something about this? This is pretty serious stuff. If all the insects, amphibians, and birds are disappearing, how much longer will it be until we mammals start disappearing? (After all, many of us are already getting sick. There are about 80 immune system disorders we didn't have 20 years ago.) Albert Einstein made some kind of prediction that once the bees are gone, mankind would only have four or so more years left.

While the CBC report mentioned things like pesticides, urban sprawl, factory farming, deforestation, and so on, as possible causes, they conveniently failed to mention one other highly likely reason ­ Microwave Radiation from Cell Phone Antennas (which the CBC also conveniently installs on its own towers ­ a visible sign of CBC's cushy relationship with the cell phone industry and perhaps the reason they failed to mention the latter possible ­ if not probable ­ reason for the Avian Decline).

While the media is failing to direct our attention at the possible real cause of this extremely ominous situation ­ possibly because of its lucrative and cushy relationships with the mobile phone industry ­ one agency of the United States government is taking a more sober interest into this grave problem. Under the auspices of the U.S. Fish and Wildlife Services (USFWS) and under the direction of Albert M. Manville II, Ph.D., Senior Wildlife Biologist, Division of Migratory Bird Management, the following report was issued on May 10th, 2007:


"U.S. Fish and Wildlife Service Concerns Over Potential Radiation Impacts of Cellular Communication Towers on Migratory Birds and Other Wildlife ­ Research Opportunities." HYPERLINK


Now, you might be asking yourself, "Why would a government agency be interested in saving wildlife? Don't they also have cushy relationships with industry and aren't they more concerned with protecting corporate profits?" Well, this is the US Fish and Wildlife Service ­ not the DoD, FCC, FDA, FBI, or CIA. (We'll just have to cross our fingers that someone in one of those other agencies doesn't go and assassinate Dr. Manville.) Dr. Manville does really seem to be concerned about saving wildlife. And moreover, as is stated in the report: The USFWS [is] entrusted by Congress and required by statutes and regulations, to manage and protect migratory birds (and other fauna [ESA]) under authority of

­ [the] Migratory Bird Treaty Act ­

[the] Bald and Golden Eagle Protection Act, and ­

[the] Endangered Species Act.


This report informs us of the overall declining bird population (up to 50 million a year), increasingly threatened bird species, and how this is related to the massive expansion in cellular communication and the exponential increase in the number of cell-phone towers blanketing our landscape. One study of particular interest in the report is the survey of two berry farms in similar habitats in western Massachusetts. At one farm, where there are no cell phone towers, there are abundant signs of wildlife: e.g. migrating and resident birds, bats, small and large mammals, and insects including bees. However, at the other farm with a cell-phone tower located adjacent to the berry patch, there are virtually no signs of wildlife: tracks, scat, feathers, etc. Here the berries on bush go uneaten by birds and insects ­ while the ripened berries that have fallen to the ground are going uneaten by animals: turkey, fox, and other wildlife.


According to a report published on May 29th, 2007, entitled "Phones & Vanishing Birds" ­ HYPERLINK The sparrows have disappeared completely from the cities at least four years ago in Britain, as mobile phones grew in popularity. Third generation (3G) mobile phones were introduced in 2003, and there were over 65 million users in the UK by the end of 2005, more phones than people. (ISIS 2007)

There is ample evidence to suggest that it is indeed long-term exposure to microwave radiation ­ especially from 3G GSM (Global System for Mobile Communications) digital-phone technology ­ that is killing the birds. Scientists at the Research Institute for Nature and Forests in Brussels, Belgium, have produced the first evidence that mobile phone base stations are affecting the reproductive behaviour of wild sparrows. This finding comes as mobile phones are held suspect in the massive collapse of bee colonies all over the United States and Europe.


Fewer house sparrow males were seen at locations within relatively high electric field strengths of GSM base stations. (ISIS 2007) Further evidence comes from researcher Alfonso Balmori in Spain: Alfonso Balmori, a conservation biologist in Valladolid, Spain, reported a significantly lower number of white stork (Ciconia ciconia) fledglings in nests close to mobile phone transmitters compared to nests further away. (ISIS 2007) Could the above also be related to the decrease in fertility found in humans living in advanced countries? (There are now numerous research studies supporting this hypothesis.)

Balmori also found difference in how the birds behaved close to the phone antennae. Young birds died from unknown causes, and bird couples frequently fought while constructing their nests. Sticks fell to the ground, and the couple failed to make any headway. Some nests were never completed and the storks remained passively in front of the antennae. (ISIS 2007) One is here also reminded of SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) and teenagers with ADD (Attention Deficit Disorder) ­ not to mention increases in violence.


The observations in urban sparrows and the white stork population suggest that microwave radiation interferes with reproductive behaviour and breeding success, which would have decimated the wild populations. But that's not the whole story.

Several million birds of 230 species die each year from collisions with telecommunications masts in the United States during migration. Accidents happen mainly in the night, in fog, or bad weather, when birds might be using the earth's magnetic field for navigation, and could be seriously disoriented by the microwave radiation from telecommunication masts. (ISIS 2007)

While the above studies have looked at the decline of urban house sparrows and white storks, it is more than likely that this microwave radiation is affecting other ­ if not all ­ bird species.


In the UK, where the allowed radiation level is 20 times higher than in Spain, a decline of several species of urban birds has occurred, coinciding with the increasing installation of mobile phone masts. (ISIS 2007)


Birds (and insects and other small animals) would naturally be the first to obviously be affected by this increase in ambient radiation since naturally they have smaller bodies and hence less flesh to be penetrated by exposure to microwaves. Birds are good candidates as biological indicators for low-intensity electromagnetic radiation (EMR); they have thin skulls, their feathers can act as dielectric receptors of microwave radiation, many species use magnetic navigation, they are very mobile and possible psychosomatic effects are absent, as Everaert and Bauwens point out. (ISIS 2007)


Finally, chicken embryos exposed to microwave radiation from cell phones have shown both deformity and mortality.

Another important factor is that chicken embryos subjected to the radiation from a cell phone in the laboratory suffered much higher mortalities than non-exposed controls. Some years ago researchers in Russia showed that continuous exposure of the chick embryos during the 21 days of embryonic development resulted in 75 percent of the embryos dying, compared with 16 percent in the controls. (ISIS 2007)

The evidence keeps piling up as more and more studies appear that show that this microwave radiation is indeed insidiously killing ­ (not only ourselves but also) ­ our precious birds, amphibians, and insects. Many peer-reviewed studies relating to the destruction of birds, animals, and plants by microwave radiation can be found listed on the Website of Joris Everaert (biologist, ecologist, and photographer): HYPERLINK