Searching :

Custom Search

Thursday, May 7, 2009

Bisnis Air Liur Walet di Serpong

BURUNG berwarna hitam sebesar burung gelatik itu masuk dan keluar gedung-gedung tinggi, melalui lubang-lubang pipa pralon berdiameter sekitar 15 sentimeter. Mereka keluar untuk mencari makan berupa serangga terbang yang dimakan sambil terbang pula.

Itulah pemandangan kawasan RT 04 RW 05 Desa Cilenggang, Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang. Lokasi kompleks gedung tinggi tanpa jendela tersebut di kawasan "Perancis" (Perempatan Cisauk), Jalan Raya Serpong, atau sekitar 15 kilometer ke arah selatan gerbang tol Tangerang. Kompleks gedung di sebelah barat dan utara berbatasan langsung dengan Sungai Cisadane. Dari kejauhan, kompleks gedung tinggi di kawasan "Perancis" tidak ubahnya seperti kompleks rumah susun. Bedanya itulah rumah walet (Collocalia vestita).

"Dulunya RT 04 RW 05 ini permukiman penduduk. Rumah-rumah warga di sini dibeli orang berduit, sedangkan penghuni lama pindah ke tempat lain. Harga tanah di sini mahal seperti di Jakarta," ujar Dahri (25), salah seorang pedagang rokok di kawasan itu.
Rumah-rumah yang ditinggalkan penghuninya segera dirobohkan oleh pemiliknya yang baru. Di bekas-bekas rumah itu pun dibangun gedung-gedung bertingkat sampai sekarang.

"Sebenarnya, belum lama kawasan ini berubah menjadi kompleks sarang burung walet. Gedung-gedung bertingkat ini banyak dibangun mulai sekitar lima tahun lalu. Gedung sarang burung walet yang lama tidak setinggi sekarang ini. Jumlahnya pun sedikit," kata Vovo (36), seorang spesialis pembuatan pintu besi gedung sarang burung walet, yang tengah mengerjakan pesanan dari salah seorang pemilik gedung.

Kini, ada sekitar 30 gedung pencakar langit di kawasan "Perancis", sebagian besar dibangun setelah nilai rupiah merosot sejak tiga tahun lalu. Banyak orang berduit yakin gedung-gedung tersebut disukai unggas itu. Harga satu kilogram sarang burung walet sebesar Rp 17 juta. Sarang itu terbuat dari air liurnya. Mahal, karena dianggap berkhasiat sebagai obat.

Konon, kawasan itu sudah dihuni walet sejak seabad lalu. Saat itu, walet menghuni rumah seorang pembesar Belanda. Ketika dia meninggal, rumahnya tidak terurus sampai kemudian ambruk. Burung walet pun berpencar dan pindah ke gedung dan kawasan lain.

Tidak semua gedung segera dihuni walet. Pik Yan (60), warga Desa Sampora, kini memiliki dua gedung berlantai tiga dan lima di lokasi itu. Gedung pertama berlantai tiga, yang selesai dibangun dua tahun lalu, sampai sekarang ternyata belum dihuni walet.

Meski demikian, minat untuk membangun gedung baru tidak surut. Dalam tiga tahun ini malah terjadi booming pembangunan gedung-gedung seperti itu di kawasan Serpong. Bentuk bangunannya pun bermacam-macam, seperti gedung perkantoran atau apartemen.

Di Desa Serpong di selatan "Perancis", beberapa gedung sarang burung walet juga dibangun di tepi Sungai Cisadane. Di Desa Kademangan, Serpong, demikian juga.
Kedatangan burung walet ke sembarang tempat, dan kadang tidak dapat diduga manusia, mendorong bermunculannya gedung-gedung sejenis di beberapa kompleks perumahan di Kecamatan Serpong. Salah satunya terdapat di Perumahan Ciater Permai, Desa Ciater.
Di Blok D-4 perumahan itu, saat ini mulai dibangun gedung burung walet oleh seorang pengusaha, dengan terlebih dahulu merobohkan empat rumah warga yang dibelinya. Penghuni lain protes.
"Masak, peternakan dibangun di tengah-tengah permukiman," kata Denny Kaban, salah seorang warga Blok D-4 Ciater Permai.
Gedung burung walet di Ciater Permai marak menyusul masuknya burung itu ke dua rumah di Blok D-4 sekitar 10 tahun lalu. Pengusaha yang hendak mengembangkan usahanya di perumahan Ciater Permai lantas membeli kedua rumah, yang ternyata disukai burung walet.

Menurut seorang pemilik sarang burung walet lainnya, Mulyadi, orang-orang berduit semakin tertarik bermain di dalam bisnis sarang burung walet terjadi setelah melambungnya nilai dollar.
"Sarang burung walet umumnya untuk diekspor, seperti ke Hongkong dan Cina. Jangan lupa saat ini di Cina banyak OKB (orang kaya baru) yang menyukai sarang burung walet," kata Mulyadi.
Ia membangun gedung berlantai tiga dengan lantai kayu di tanah miliknya di Desa Kademangan, Serpong, pada tahun 1999. Baru sekitar tiga bulan gedung walet berukuran 9 x 15 meter yang dibangun dengan biaya sekitar Rp 90 juta, datang burung sriti dan selanjutnya diikuti burung idaman, walet. Warga lain ikut membangun.

Babak selanjutnya, ia terima order pembangunan gedung di sejumlah lokasi. Kepercayaan orang semakin kuat karena dia mempunyai cara mendatangkan burung walet, dengan memutar CD (compact disc) berisi rekaman suara kicau burung itu.
Gedung pertama yang dibangun Mulyadi lebih merupakan rumah contoh. Gara-gara sering didatangi orang yang melihat-lihat, burung walet bubar dari tempat itu. Baru beberapa bulan ini gedung ditutup untuk umum sehingga walet kembali datang. Katanya, "Saya belum pernah memanen sarang burung walet dari gedung itu."

Kapan masa panen sarang burung walet itu, katanya, sulit ditentukan. Pemilik yang kuat keuangannya menunggu sampai dua tahun, baru memanennya dengan hasil yang memuaskan.
Dari lantai gedung seluas satu meter persegi dapat dipanen tiga ons sarang burung walet, berasal dari 70 ekor walet. Bayangkan, berapa hasil yang diperoleh jika gedung dihuni oleh 7.000 ekor?
Modal yang sampai ratusan juta rupiah membuat para warga setempat tak mampu ikut berbisnis.

"Uang dari mana saya bisa membangun sarang burung walet," kata Ny Oman (60), warga RT 04 RW 05 Cilenggang, yang rumahnya berada di antara dua gedung walet.
Warga kebanyakan hanya berharap, burung walet datang ke rumah tinggal mereka, bertelur, dan bersarang dengan air liurnya yang berharga. Ada baiknya warga membangun rumahnya tinggi-tinggi. Siapa tahu walet datang sehingga uang pun datang. Daripada menelan air liur sendiri melihat kemakmuran tersebut. (Agus Mulyadi)

Sumber :Kompas

0 comments: