Searching :

Custom Search

Saturday, January 10, 2009

Unusual from Makassar, Indonesia


Ini pemandangan tak lazim di sebuah rumah walet di Bonerate, Makassar, Sulawesi Selatan. Aroma amonia menguar tajam begitu melangkah masuk ke dalam. Maklum, lantai bangunan itu becek oleh kotoran si liur emas. Si empunya tetap mempertahankan kondisi itu karena di sana setiap 2 minggu dipetik 5 kg sarang Collocalia fuciphaga.

Bangunan walet berlantai 4 di daerah Pecinan, Kota Angin Mamari, itu tampak seperti rumah biasa. Tak terlihat lubang-lubang udara dari pipa PVC di tembok yang menjadi ciri khas rumah walet. Pantas sirkulasi udara di dalamnya macet sehingga amonia yang muncul dari kotoran walet tercium tajam. 'Ini aroma rupiah,' ujar Boy Susandi, si empunya.

Rumah berumur 5 tahun itu justru menghasilkan sarang setelah ventilasi ditutup. Sebelumnya pada tahun pertama ketika ada lubang udara, sulit memancing walet masuk. Setelah ditelisik kehadiran lubang udara membuat kelembapan rendah, hanya 70%. Sebaliknya ketika ventilasi ditutup, kelembapan stabil di angka 85-90%. Buntutnya setahun berselang pada 2005 mulai dijumpai walet bersarang. Jumlahnya sedikit, baru hitungan jari. 'Namun jumlah itu terus meningkat. Kenaikannya mencapai 125% pada 2007,' kata alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Satya Wacana, Malang, Jawa Timur, itu.

Pintu besar
Menurut Mulyadi, praktikus walet di Serpong, Tangerang, rumah walet tanpa lubang angin sah-sah saja. 'Di Lampung banyak rumah walet yang berhasil tanpa lubang angin. Yang terpenting kelembapan tinggi dan suhu stabil,' ujarnya. Tanpa lubang angin berarti tidak ada uap air yang terbawa keluar oleh angin, sehingga kelembapan ruangan dapat dipertahankan.
Kelembapan tinggi di rumah walet itu bukan semata-mata tanpa ventilasi, tapi diciptakan Boy dengan pengabutan. Mesin yang digunakan Boy mampu mengabutkan ruangan seluas 30 m². Mesin itu dinyalakan 24 jam nonstop dengan durasi 5 menit/jam. Pada musim hujan mesin kabut tidak dioperasikan.

Sejatinya kelembapan dan suhu ideal harus diimbangi dengan sirkulasi udara yang lancar. Tersendatnya sirkulasi udara membuat amonia tertahan dan terus menumpuk. Pada konsentrasi yang tinggi dapat meracuni walet. Sebab itu menurut Dr Boedi Mranata, praktikus walet di Jakarta Selatan, bangunan yang sirkulasi udaranya jelek produksi sarang biasanya tidak optimal. 'Bahkan lama-kelamaan walet tidak berkembang,' kata Boedi. Kondisi seperti itu mulai tampak di lantai dasar dan kedua yang hanya terdapat 300-400 sarang.

Walet lebih memilih menghuni lantai ke-3 dan ke-4 yang aroma amonianya tercium samar-samar. Sirkulasi udara di kedua tempat itu bagus karena berada di dekat lubang masuk burung di pojok kanan lantai 4. Pintu masuk berukuran 5 m x 1,5 m itu cukup mengalirkan udara segar. Itu diperkuat lagi oleh jarak antarlantai setinggi 4 m yang memudahkan pergerakan udara di dalamnya.

Konsekuensinya, ukuran pintu masuk yang besar membuat sinar matahari terlalu kuat menerangi ruangan tempat walet bersarang atau resting room. Padahal, Collocalia fuciphaga itu menghendaki kondisi remang-remang. Untuk mengatasinya Boy memasang layar terbuat dari bahan selebar 12 m x 8 m yang sekaligus menjadi pembatas lobi-tempat walet bermain-dan bersarang.

Di depan pintu masuk, Boy juga menambahkan dak air berukuran 13 m x 8 m yang menyerupai bak. Dak itu berisi air setinggi 7 cm beratap langit. Tujuannya, 'Selain mengurangi paparan sinar matahari, juga sebagai penahan panas,' kata Boy. Dak terbuat dari beton berlapis membran agar tidak bocor. Pada setiap tepi dak diberi pipa sepanjang 15 cm yang dibuat menyerupai orang-orangan sawah. Itu untuk mengelabui walet. Menurut pria kelahiran Makassar 37 tahun lalu itu walet akan mengira sedang berada di sawah, tempatnya mencari serangga.

Pecinan
Semua teknik itu dipakai Boy pada seluruh rumah waletnya yang berjumlah 5 buah. Contohnya rumah di dekat pelabuhan Soekarno-Hatta setinggi 3 lantai dengan luas bangunan 375 m². Rumah yang baru berumur sebulan itu langsung didatangi walet. Itu terlihat di dinding setebal 40 cm terdapat kotoran walet berwarna putih. Supaya walet tertarik masuk, Boy memasang 300 tweeter dengan volume maksimal. Lantaran walet senang air di antara dinding gedung dibuat kolam 8 m x 5 m yang dilengkapi selang berlubang. Dari sanalah air nantinya menyemprot seperti kabut.

Menurut Boy selain teknik, kunci sukses memancing walet masuk adalah memilih lokasi rumah yang tepat. Dari banyak tempat di Makassar, Boy menyukai daerah Pecinan yang meliputi 16 jalan utama seperti jalan Sulawesi, Bonarate, Flores, dan Biak. Alasannya, 'Daerah itu sudah lama jadi lintasan walet dan salah satu sentra walet terbesar di Sulawesi Selatan,' ucap Boy yang minimal mengamati selama 2 minggu untuk menentukan lokasi yang cocok. Jarak ke sumber pakan di Takalar juga dekat. 'Walet lebih mudah mencari serangga,' tambahnya.

Trubus menyaksikan keberadaan si liur emas di daerah yang dihuni mayoritas etnis Tianghoa itu saat senja tiba. Saat itu suara tweeter terdengar riuh-rendah dari setiap rumah walet. Gerombolan walet pun memenuhi langit di Pecinan. Bahkan langit di atas salah satu rumah walet tertua yang umurnya ditaksir 25 tahun itu tampak lebih hitam tertutup walet. Setiap 25 menit sekitar 600.000 walet masuk rumah itu. Dari informasi yang diperoleh, rumah 3 lantai berukuran 14 m x 27 m itu produksinya mencapai 1.000 kg/panen.

Desain bangunan rumah walet itu seperti normalnya rumah walet, banyak lubang angin. Untuk menarik walet, rumah itu juga memakai pintu yang lebar. Lantai atas bangunan terdapat bumbungan tempat walet bermain sebelum masuk ke rumah. 'Tapi bumbungan itu tidak diberi kolam,' tutur Boy.

The Oldest in Sulawesi
Di luar Pecinan, di Makassar masih ada lokasi walet lain seperti di Sam Ratulangi, selatan Makassar. Namun, produksi jumlah sarang di sentra itu kalah dibandingkan di Pecinan. Maklum, bangunan-bangunannya relatif baru. Misal rumah 3 lantai milik Agung, baru dibangun pada 2005 sehingga produksinya tidak lebih daripada 5 kg. Meski demikian rumah-rumah walet di Makassar menjadi bukti pesatnya pertumbuhan si liur emas di Sulawesi Selatan. Berdasarkan pengamatan Boy saat ini sekitar 300 bangunan walet ada di Makassar.

Para investor tertarik membangun rumah walet di Makassar karena tingkat keberhasilan memancing walet cukup tinggi. 'Yang masuk ke dalam rumah mayoritas langsung walet,' kata Boy. Makassar salah satu sentra walet tertua di Pulau Sulawesi. 'Dahulu para pemilik rumah walet di Makassar seperti Manado banyak yang putar telur,' ujar Boedi. Nah, karena itu populasi walet di Makassar terus berkembang. Tak aneh kalau penampung sarang pun banyak berkeliaran di sana. Mereka membeli sarang, sarang dicuci, lalu langsung dibawa ke Surabaya. (Lastioro Anmi Tambunan)

by Trubuson

0 comments: